3. titip rindu

567 120 4
                                    

Dan bukan lagi menjadi kemungkinan melainkan sebuah kenyataan, bahwasanya Sayan tidak terlalu di utamakan. Dia ada namun seperti tiada, keberadaannya terlalu di biarkan seakan-akan Sayan tidak pernah menjadi bagian dari keluarga harmonis tersebut.

Di setiap keluarganya berkumpul, dia hanya bisa menatap Adri yang diberikan perhatian lebih. Abin sebenarnya juga ingin memperlakukannya hal yang serupa, tapi seringkali Irana memperingatinya untuk tidak terlalu memperdulikannya. Jelas-jelas di sini Sayan anak kandungnya. Namun dia merasa jika dirinya merupakan anak adopsi.

Sayan tidak bisa membela diri, kelahirannya ke dunia juga sebuah hal yang tidak di inginkan. Ketidaksengajaan yang membuat bundanya murka dalam jangka waktu yang lama. Bahkan sebelum Sayan mati, bisa jadi Irana tetap akan membencinya lebih dari apapun.

Sadarkah jika sebenarnya di sini Sayan sudah nyaris di tiadakan? Dia tidak baik-baik saja. Sayan terluka dan terus tersakiti. Hanya saja berkali-kali mencoba untuk bertahan, semata-mata agar diberikan kesempatan mendapatkan sebuah perhatian. Tidak apa-apa jika mengatakan Sayan mengemis hal semacam itu pada bundanya, karena sedari kecil dia sudah sering di asing kan.

"Bunda, boleh aku ikut band di sekolah?" ucap Adri menatap Irana dengan lekat. "Kemarin pas di tes nyanyi, suara vocal Adri di puji. Mana mungkin Adri menyia-nyiakan kesempatan terbaik itu kan?"

Irana tersenyum bangga. Dia akan mendukung apapun yang Adri lakukan untuk masa depannya. Tapi tidak mau menatap ke arah Sayan yang jelas-jelas ada di sana. Putranya yang sudah dipastikan selalu mengharapkan hal yang sama seperti sebelumnya.

Rasanya sakit sekali jika keterusan di abaikan. Dia bertahan juga untuk semuanya keperdulian itu. Sampai-sampai melupakan sebuah fakta jika dia tidak pernah mendapatkan cinta.

"Aku berangkat duluan," ucap Sayan yang langsung pergi dari sana.

Melihat Sayan yang pergi lebih dulu tanpa menunggunya lagi, Adri pun berpamitan pada ayah dan bundanya. Mengejar langkah Sayan yang lumayan jauh dari jangkauannya, dia memanggil namanya tapi jelas sekali di abaikan.

Kemudian anak itu pun mempercepat langkahnya, menarik pergelangan tangan Sayan dan membuat keduanya saling berhadapan.

"Kau marah?"

"Coba kau tempatkan di posisi ku. Bunda jauh lebih bangga padamu, padahal aku? Sialan terlalu sulit untuk memperjelas semuanya. Kau pasti paham, tapi kau memanfaatkan keadaan. Oke aku tau, kau punya segalanya yang bunda jadikan kebahagiaan. Aku gak bakalan marah, tapi jangan di hadapanku. Kau harus tau kalau aku pun berharap bunda menatapku seperti tadi. Kau benar-benar sengaja melakukannya," kata Sayan dengan matanya yang berkaca-kaca.

Adri tidak sengaja, dia berniat untuk membuat bundanya bangga. Tanpa berpikir lebih dulu jika Sayan pasti akan tersakiti. Tatapan Irana juga lebih sering setulus itu pada Adri, bukan pada Sayan.

"Maaf, aku gak bermaksud untuk membuatmu terluka. Aku sadar aku terlalu berlebih-lebihan," sahut Adri meraih tangan Sayan.

Namun, di hempaskan oleh anak itu. Sayan melanjutkan langkah kakinya untuk menjauh. Air matanya juga ikut menetes, dia tidak bisa bertahan. Rasanya semakin menyakitkan, apa salahnya jika dia dilahirkan karena bentuk kesalahan sang bunda? Itu juga bukan kemauannya. Tapi takdir seakan-akan sedang menghukumnya saat ini.

Sayan tidak mampu bertahan, dia terus kesakitan. Dia tidak bisa menyembuhkan lukanya sendiri. Bahkan waktu yang dapat menjadi pengobat pun, tidak bisa di manfaatkan dengan baik.

Tolong Berikan Cinta[✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang