Chapter 36

19.5K 2.1K 37
                                    

"Baby Girl, masuk, Abang udah sadar," panggil Daddy

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Baby Girl, masuk, Abang udah sadar," panggil Daddy. "Daddy mau ngurus administrasi dulu, kamu jaga Abang di dalam," sambung Daddy sebelum berlalu pergi.

"Iya, Dad."

"Dek," lirih Sean begitu aku masuk.

Aku mendekat. "Gimana kondisi lo, mana yang sakit?" tanyaku pelan. Tatapan kami saling bersinergi, aku terperangkap dalam gemerlap mata indahnya seakan mewakili seisi galaksi. Mata Sean menjadi bagian yang terindah dari tubuhnya, berhasil memikatku untuk kesekian kalinya.

"Perut gue yang paling sakit," jawab Sean diakhiri ringisan keluar dari celah bibirnya.

"Sakit banget ya? Gue panggil Dok-" Aku panik bukan main hanya karena mendengar ia meringis.

Sean menempelkan telunjuk tangan kirinya ke bibirku-mengisyaratkan agar aku berhenti bicara. "Tenang, sakitnya masih bisa gue tahan," lirihnya. Terdengar jelas jika Sean tengah menahan rasa sakit.

Aku mengerti, Sean tidak menginginkan kedatangan Dokter setidaknya untuk saat ini. Lantas aku duduk dikursi yang memang sudah tersedia di samping brangkar.

Aku meraih tangannya, mengamati buku-buku tangan Sean di mana kulitnya terkelupas mengeluarkan sedikit darah. Aku pikir Dokter melewatkan bagian ini karena lebih fokus merawat wajah serta perut Sean.

Pandanganku menyapu seisi ruangan hingga menemukan keberadaan kotak P3K. Aku mengambilnya dan mulai mengobati luka ditangan Sean.

Dari tadi Sean terus menatapku yang tengah mengobati lukanya. Ia tak mengalihkan pandangannya sedetik pun seolah aku adalah maha karya paling luar biasa yang pernah ia lihat.

"Jangan ngeliat gue kayak gitu," cetusku sambil meliriknya.

Sean tersenyum tipis, dengusannya terdengar olehku. "Tapi gue mau," jawabnya terkesan santai.

Menggeleng sambil menghela napas, aku tidak menjawab karena merasa jika tidak ada gunanya melarang laki-laki ini. Sean selalu seperti itu-sulit dikendalikan.

Manikku kembali fokus pada tangannya, membungkus tangan Sean dengan perban lembap secara perlahan agar ia tidak meringis kesakitan.

"Lain kali jangan sok jagoan, lari aja kalau lo merasa nggak sanggup melawan," kataku.

Sean berdeham. "Bukan sok jagoan, tapi ini tentang harga diri. Lebih baik terluka daripada lari kayak orang pengecut," ujarnya.

"Pasti lo sakit banget. Bukan cuma tubuh lo tapi juga hati lo," lirihku. Tanpa bisa kucegah air mata jatuh ke pipiku.

"Nggak ada manusia yang luput dari rasa sakit. Gue udah biasa. Jangan nangis, gue nggak suka," ujarnya sambil mengulurkan tangan ke arahku, lalu mengusap suraiku perlahan.

A or A [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang