Bab 6

123 15 0
                                    


DUA TAHUN KEMUDIAN

Alexia mengunjungi makam Papanya dan membawakannya beberapa makanan yang semasa ia masih hidup sangat disukainya. Ia meletakkan beberapa makanan tersebut serta bunga segar di depan makam ayahnya, tidak lupa juga ia membawakan dirinya makanan sederhana untuk mengisi perutnya di siang hari ini. "Papa, Alexia bawa makanan yang papa suka... Temani Alexia makan ya Pa..." Gumam Alexia pelan.

Hari ini daerah pemakaman terasa sepi, tidak begitu banyak orang yang datang mungkin karena melihat cuaca mendung yang hampir menutupi teriknya matahari di siang hari ini. Alexia tidak pernah lupa dengan hari ulang tahun Papanya. Ia akan selalu mengunjungi Papanya khusus di hari ulang tahunnya. Mama tidak bisa ikut hari ini karena mama sangat sibuk menjaga tokonya. "Mama sembahyang di rumah saja seperti biasa..." begitu kata mama tadi saat Alexia mengajaknya berkunjung ke makam Papa.

Alexia menikmati makanannya dalam diam, membiarkan angin lembut membelai permukaan kulitnya hingga akhirnya setelah ia menyelesaikan makannya, rintikan hujan pelan-pelan mulai jatuh ke tanah. Alexia segera membereskan kotak makannya dan barang-barangnya, ia kemudian berpamit sebelum meninggalkan makam Papanya. Ketika hujan semakin deras dan langit mulai tampak sangat mendung, Alexia berlari kecil ke arah bawah pohon besar yang terdekat untuk melindungi dirinya dari air hujan. Angin tiba-tiba berhembus sangat kencang dan cuaca terasa sangat dingin membuat Alexia menggigil sesekali. Ia melirik sekitar dan melihat beberapa orang juga mulai berlari meninggalkan pemakaman dan masuk ke dalam kendaraan beroda empat mereka menyisakan Alexia sendirian. 

Sejauh mata Alexia memandang, hanya ada air hujan yang turun sangat deras, tapi pelan-pelan matanya mulai menyesuaikan derasnya hujan dan menangkap sebuah sosok di balik derasnya hujan. Alexia segera menggosok matanya kuat, takut salah melihat. Jantungnya berdegub kencang, ia takut ia melihat sosok hantu. Alexia kemudian berdoa di dalam hati, entah apa gunanya tapi ia sekarang merasa sangat takut. Derasnya hujan membuat Alexia tidak bisa berkutik dari tempatnya. Ketika sosok itu semakin mendekat ke arah Alexia, Alexia langsung berbalik menghadap pohon dan memejamkan matanya rapat-rapat. Alexia merasakan sebuah kehadiran di balik punggungnya. Badannya seketika menjadi tegang dan bulu kuduk di sekujur tubuhnya berdiri. "God... please save me..." rintih Alexia berulang-ulang kali.

Kehadiran sosok itu terasa sangat nyata bagi Alexia tapi yang membuat Alexia bingung adalah suhu di sekitarnya seketika menjadi lebih hangat. Bukankah kehadiran sosok hantu seharusnya terasa menjadi lebih dingin dan mencekam? Alexia bingung.

"Nona..." Sebuah suara terdengar dan detik berikutnya adalah punggung Alexia ditepuk pelan, membuat Alexia terkesiap dan langsung berbalik untuk melihat siapa yang mengganggunya.

"Jangan ganggu aku!" Teriak Alexia masih memejamkan matanya.

"..."

"..."

Hanya terdengar suara rintik hujan yang semakin reda. Tidak ada jawaban. 

"Nona Jagger."

Hanya satu orang yang memanggilnya seperti itu. Alexia kemudian membuka matanya dan melihat sosok itu. Sosok itu... yang selalu terbayang dalam pikirannya setiap detik. 

"Alexander, apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Alexia tanpa basa-basi. "Apakah kau menguntitku?" 

Senyuman yang selalu Alexia dambakan terukir di wajahnya. "It's been a long time, Alexia." Ucapnya tidak memberikan jawaban atas kebingungan Alexia.

Tapi wajah laki-laki itu tidak lagi bersinar seperti dulu dan Alexia cukup yakin akan hal itu. Rambutnya yang dulu sangat berantakan, sekarang sudah tertata rapi. Secara penampilan, laki-laki itu menjadi lebih rapi dan tetap tampan seperti ingatan Alexia. Tapi tidak bersinar seperti dulu. 

"Alexander, jawab aku. Apa yang sedang kau lakukan di sini?" 

Tapi Alexander tidak menjawab. Ia hanya menghela napas pelan. "Kau mengunjungi makam orang tuamu kah...?" Tebak Alexia.

"Yuk, aku antar kau pulang." Alexander menjangkau pergelangan tangan Alexia dan menariknya pelan. Alexia hanya mengikutinya. Alexander yang terkenal sebagai pria yang sejati yang Alexia kenal masih sama. Ketika hujan mulai membasahi kepala Alexia, Alexander meletakkan salah satu tangannya di atas kepala Alexia, melindunginya dari hujan yang sudah mulai reda.

Selama di perjalanan pulang dalam mobil Alexander, mereka sama sekali tidak berbicara satu sama lain. Alexia enggan untuk memulai percakapan karena tampaknya Alexander terlihat lebih dingin dan kaku sekarang. Alexia takut ia akan salah bicara dan menyinggung perasaan Alexander jadi Alexia memaksakan dirinya untuk menatap jalanan raya lurus-lurus tanpa sedikitpun mencoba untuk melirik Alexander.

"Aku tadi mengunjungi makam istriku, Alexia." Begitu katanya Alexander saat mereka sudah hampir sampai di depan rumah Alexia.

Alexia dengan seribu kebingungannya tergantung di akhir kalimat Alexander. Alexia ingin tahu lebih, tapi lidah Alexia kaku. Istri? Sejak kapan Alexander menikah? Entah mengapa perasaan Alexia sekarang terasa sangat kacau. Rasanya ia merasa terkhianati, tapi ia bingung, kenapa ia bisa merasa seperti itu sedangkan ia tidak begitu mengenal benar-benar laki-laki yang duduk di sampingnya kini. 

"Dua tahun kita tidak bertemu, Alexander. Aku senang kau masih sehat." Hanya itu yang bisa diucapkan Alexia. "Terakhir kita bertemu.. di rumah sakit itu, beberapa jam sebelum Papaku menghembuskan nafas terakhirnya." 

Alexander memarkirkan mobilnya di depan rumah Alexia kemudian Alexander menatap Alexia lurus. "Dua tahun dan kau sekarang sudah tampak sangat sehat dan dewasa juga." 

Senyuman Alexander membuat sekujur Alexia bergejolak aneh. Alexia menelan ludahnya dengan susah. Ia membalas senyuman Alexander, "Terima kasih atas tumpangannya lagi, Alexander." 

Sebelum Alexia meninggalkan mobil Alexander, Alexander memanggil, "Alexia."

"Hmm?"

"Let's keep in touch again. As friends.

Alexia tersenyum tipis, "Alright."

Sepanjang malam itu, Alexia tersenyum. Ia merasa hari ini terasa begitu lega. Sebenarnya ia selama ini selalu penasaran dengan keberadaan Alexander. Sosok pria itu begitu membekas dalam ingatannya setiap detik tapi ia tidak pernah berani untuk kembali ke rumah sakit itu lagi ataupun mencoba untuk mengirim pesan kepada pria itu karena Alexia merasa ia tidak pantas untuk melakukan hal tersebut. Ia selalu menganggap bahwa hubungan mereka hanyalah sekedar dokter dan pasien, tidak lebih. Itulah yang mengganjal di perasaannya. Sebuah batasan yang membuat Alexia tidak nyaman untuk bahkan memikirkan tentang pria itu. 

Malam ini, semua hal itu berubah. Alexander Wilder bukanlah seorang dokter yang ia kenal dulu, namun ia adalah temannya sekarang. Iya, benar, Alexander Wilder adalah seorang teman. Itu sudah lebih dari cukup bagi Alexia. Alexia merasa sangat senang karena ia dapat kembali bertemu dengan sosok teman yang sempat menyelamatkan nyawanya pada masa kelamnya. 

Alexia berjanji akan membalas kebaikan kepada temannya, Alexander Wilder.

Welcome HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang