Alexia baru selesai membantu mamanya mengangkat beberapa kantong belanjaan dari mobil ke dalam rumah ketika ponselnya berdering. Sebuah nama terpampang di layar ponsel Alexia, nama yang sudah beberapa minggu ini ia coba untuk hindari. Jantungnya tentu saja berdegup begitu kencang karena mustahil bagi pria itu untuk menghubunginya duluan terutama ketika mereka sedang dalam situasi sedingin ini.
"Mama sebentar ya, Alexia ada telepon." Mamanya mengangguk tersenyum.
Alexia kemudian berjalan keluar rumah sedikit menjauh dari mamanya. Ia tidak ingin dicerca beribu pertanyaan aneh oleh mamanya yang sudah mulai curiga dengan hubungan percintaan Alexia. Alexia mengernyit pelan, menyadari kalau ia baru saja berpikir bahwa ia dengan Alexander memiliki 'hubungan percintaan'. Tidak boleh terjadi, tentu saja.
"...."
Alexia tidak mendengar suara apapun dari ponselnya. Ia tersenyum tipis. Tipikal Alexander dengan gengsinya yang tinggi, tentu saja ia enggan untuk memulai percakapan terlebih dahulu.
"Akan kumatikan teleponnya jika kau tidak ingin berbicara." Alexia kemudian memutuskan sambungan teleponnya sebelum Alexander membuka suara. Ha! Rasain! Siapa suruh jadi orang sangat menyebalkan!
"Alexia."
Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakangnya. Alexia sangat yakin ia hanya salah dengar namun ketika angin berhembus pelan, ia mencium wangi harum tubuh seseorang yang khas. Badan Alexia menegang.
"Alexia." Sekali lagi suara itu memanggilnya dan Alexia langsung menoleh.
Alexander tersenyum canggung. Untuk sesaat, Alexia benar-benar merasa dirinya sedang di dalam drama korea. Alexander dengan kemeja kusutnya yang dilipat, berdiri di depannya dengan angin yang berhembus pelan dan aroma tubuh Alexander yang sangat dikenal oleh Alexia. Menyadari kehadiran Alexander membuat sekujur tubuh Alexia menjadi lebih relaks, seolah-olah Alexander adalah tempat ia bisa bersandar ketika ia lelah. Tapi, memang mungkin itu kenyataannya. Alexia merasa sangat nyaman ketika ia berada di dekat Alexander.
Wajah tampan itu kemudian menoleh ke dalam rumah dan tersenyum sopan dengan mamanya. "Tante, apa kabar?"
"Alexia, kenapa berdiri di luar? Ajak Alexander masuk dong."
"Tante, saya culik Alexia sebentar boleh ya?"
***
"How are you?" Alexander membuka percakapan. Ia tahu ia sangat bodoh dalam hal memulai percakapan dengan Alexia. Ia merasa ia akan selalu membuat Alexia tersenyum licik menyadari kebodohannya sendiri. Tapi sudah hampir setengah jam mereka berada di restoran sederhana dekat dengan rumah Alexia duduk dan tanpa bicara dan sudah tiga kali pula pelayan restoran terus-terusan menanyakan apa sudah ada yang mereka mau pesan.
Alexia menurunkan menu makanan ke pangkuannya. Wajah dan matanya tertuju ke bawah, tidak menatap Alexander sama sekali. "Baik-baik saja. Kau?"
Alexander bersumpah ia sekilas melihat Alexia tersenyum kecil. Benar kan! Ia menertawaiku! Alexander kau memalukan! "Baik-baik saja, juga."
Suasana di restoran makan tersebut cukup ramai pengunjung karena sudah menjelang jam makan malam. Masing-masing orang terlihat cukup sibuk dengan diri mereka sendiri jadi Alexander yakin tidak ada yang menyaksikan betapa menyedihkannya makan malam mereka berdua sekarang.
"Tuan dan nona sudah siap untuk memesan makanan anda?" Seorang pelayan pria tua datang ke meja mereka dan berdiri dengan canggung. Ini sudah keempat kalinya ia bertanya orderan mereka.
Alexia tidak membuka mulutnya sama sekali dan Alexander lagi-lagi bingung dengan apa yang yang harus ia lakukan. Mustikah dia memesankan makanan untuk mereka berdua? Tapi Alexander tidak tau apa yang Alexia inginkan. Alexander pasti akan mengacau lagi dan Alexia akan menghukumnya dengan tidak berbicara dengannya selama beberapa minggu ke depan. Tapi... melihat gerak-gerik Alexia... Apakah ia ingin Alexander yang memilihkan makanan untuknya?
"Uhm..."
"Chef kami hari ini merekomendasikan beef steak with special recipes for the creamie mushroom sauce. Dagingnya menggunakan Fullblood wagyu-"
"Alexia tidak makan sapi.." Ujar Alexander sedikit lepas. "Bisakah diganti dengan daging ayam saja?"
Pelayan pria tua tersebut tersenyum mengangguk. "Tentu saja bisa. Untuk minumannya, kita merekomendasikan special sparkling stars yang merupakan wine puti-"
"Alexia tidak bisa minum wine, jadi untuk minumannya-"
"Siapa bilang aku tidak bisa minum wine, Alexander?" Alexia membuka suara pada akhirnya dan kemudian tersenyum kepada pelayan tersebut dengan sopan, "Kalau begitu untuk minumannya sesuai dengan yang kau rekomendasikan."
Setelah pelayan pria tua itu pergi, Alexander menatap Alexia yang masih sibuk dengan buku menu makanan restoran tersebut. Alexander sangat sadar bahwa Alexia tengah menghindarinya. "Stop it already." Ujar Alexander langsung ke inti.
Alexia dengan cepat mengangkat wajahnya dan melihat kedua manik mata Alexander dengan tajam. "Stop what?"
"You and your attitude towards me."
"What about me and my attitude? Towards you?"
Alexander menghela napas. "Aku minta maaf atas sikapku kemarin."
Alexia menggelengkan kepalanya pelan, "Aku mengerti. Aku hanya ingin kau juga bisa mengerti, bahwa aku ini wanita dewasa yang sudah bisa membuat keputusan sendiri. Aku ingin pergi ke apartemen teman kencanku? Itu urusanku. Kau hanya perlu memercayaiku, Alex. Aku bisa menjaga diriku sendiri."
Aku bisa menjaga diriku sendiri. Kalimat itu terdengar familiar. Memang nyata kalimat itu adalah kalimat yang sangat familiar dan... menakutkan, bagi Alexander.
Alexia mengerti apa yang tengah Alexander pikirkan. Alexia dapat merasakan pancaran khawatir yang luar biasa dari tatapan Alexander. Pria itu memang tampak sangat dingin namun Alexia perlahan sudah mulai mengenalnya dan mengetahui alasan mengapa pria itu bersikap seperti itu. "I'm not her, Alex..."
"What do you mean?"
"You know what i mean."
Percakapan menegangkan mereka terhenti karena makanan dan minuman sudah mulai disajikan di depan hadapan mereka. Mereka mulai makan dalam diam. Alexander akan melirik setiap Alexia mengeguk wine putih tersebut. Seingat Alexander, wanita itu tidak kuat minum minuman beralkohol.
Pikiran Alexander sangat kacau sekarang. Percakapan yang belum selesai tadi menghantui Alexander. Apakah Alexia benar-benar sangat marah kepadanya? Apakah Alexia berpikir bahwa Alexander hanya melihat Alexia sebagai perempuan yang butuh pertolongan? Apakah Alexia merasa Alexander memperlakukannya seperti mendiang istrinya? Alexander mengernyitkan dahinya frustasi. Alexander bahkan tidak mengerti juga apa perasaannya sekarang. Terhadap Alexia. Terhadap dirinya. Terhadap... traumanya.
"Jadi, aku mendengar dari suster Olene kalau kau mencariku kemarin." Alexander membuka percakapan lagi setelah mereka berdua selesai menghabiskan makanan mereka.
Alexia tersedak sedikit, matanya terbuka agak lebar. "Aku? Mencarimu?"
Alexia dan gengsinya yang tinggi, tentu saja. Alexander tersenyum miring, "Ya benar, kau mencariku. Tidak mungkin Suster Olene berbohong kan?"
"Ya, tentu saja. Suster Olene tidak mungkin berbohong."
"Jadi? Benar kau mencariku?"
Alexia tampak sedang berdebat dengan dirinya sendiri. "Ya, aku mencarimu...." Ujar Alexia dengan ragu.
Alexander tersenyum tipis mendengar pengakuan Alexia. "Alexia mencariku... Wow."
"Dan aku awalnya ingin memberitahumu ini tapi.." Alexia tidak melanjutkan kalimatnya. Hal itu membuat Alexander penasaran.
"Ada apa, Alexia?" Tanya Alexander masih dengan senyuman kecil di wajahnya.
"A-aku.." Alexia menelan ludahnya dengan susah. "Aku hamil."
KAMU SEDANG MEMBACA
Welcome Home
RomanceBASED ON TRUE ACCIDENTS [IN MEMORIAM PAPA SAYA(23/02/1969-17/08/2021) PEJUANG KANKER LIDAH STADIUM 4 SELAMA 5 TAHUN (2016-2021)] SLOW STORY [ADULT 21+] Alexia sering merasa bahwa ia adalah gadis yang paling sial di dunia. Teruntuk pertama kalinya, A...