Bab 7

125 15 0
                                    

SATU TAHUN KEMUDIAN.

"Happiness is an illusion.. Apakah kau setuju dengan pernyataan Friedrich Nietzsche?" Tanya Alexander pada Alexia pada siang hari itu, mereka tengah menikmati kopi panas mereka di kafe dekat kantor Alexia bekerja.

Alexia memutar otaknya berusaha mencerna kalimat pertanyaan yang dilontarkan pria bermata coklat madu di depannya kini. "Tergantung..." Gumam Alexia tidak pasti dengan jawabannya.

Alexander menutup bukunya yang tebal dan menurunkan kacamata yang sempat tergantung di depan matanya, "Ada apa?" Tanya Alexander.

"Maksudnya?"

"Kau terlihat aneh beberapa hari ini, ada apa?" Alexander memerhatikan gerak-gerik Alexia lekat-lekat yang terlihat sangat gelisah beberapa belakangan ini.

Alexia menatap mata Alexander lurus dan menghela napas dengan gaya yang berlebihan, "Kepala divisiku pensiun dan kemudian diganti dengan cucu dari Sir Yahara Suki, pemilik dari perusahaan ekspor batu grani-"

"Ya, ya.. Aku tau siapa Yahara Suki. Kenapa memangnya dengan cucunya?" Tanya Alexander langsung kepada inti.

"Dia..."

"Lesbian?" Celetuk Alexander acuh tak acuh.

Alexia melotot kesal, "Sembarangan! Dia laki-laki."

"Oh." Alexander merespon.

"Oh?" 

"Ya, lantas kenapa? Kau ingin bercerita atau tidak?" Alexander mulai kesal dan tidak sabar.

"Dia mengajakku berkencan."

Alexia berusaha membaca ekspresi Alexander tapi Alexia gagal membaca karena Alexander tidak memberikan ekspresi apa-apa. "Hello? Menurutmu bagaimana?" 

"Bagaimana aku bisa tau? Hanya kau yang bisa menilai, kan? Menurutmu, orangnya bagaimana?" Jawaban Alexander tidak membantu Alexia sama sekali. 

 "Dia tampan, tinggi, berotot, kulitnya sangat eksotis untuk keturunan Jepang, dia harum, senyumnya manis, suaranya sexy dan dia juga sangat baik kepadaku. Kau tahu, setiap pagi dia membawakanku sarapan yang dibuatnya sendiri... Awalnya aku kira ia hanya berusaha bersikap baik karena dia kepala divisi baru dan aku pun tidak terlalu menanggapi hal tersebut ke arah yang lain tapi kemarin sore saat jam pulang kerja ia tiba-tiba bertanya apakah aku ingin berkencan dengannya sesekali... Rasanya aku memenangkan semacam lotere! Bayangkan! Seorang cucu dari Yahara Suki mengajakku berkencan! Kau tahu, Alex? Hampir semua wanita di tempatku bekerja mengaku bahwa mereka sangat iri kepadaku. Entah aku harus merasa senang atau tertekan dengan fakta tersebut...."

"Bukankah kita akan bersikap manis dan baik ke orang yang kita suka?" Alexander bergumam. "Ya... Kurasa kau sudah cukup dewasa untuk mengerti arti lain dari sikap baik seorang laki-laki." 

Alexia merasa wajahnya mulai memanas saat ia mengerti maksud dari ucapan Alexander. "Termasuk dirimu?" Jebak Alexia.

Alexander tertawa keras sembari melipatkan kedua tangannya di depan dada, "Ya, termasuk diriku. Tapi kau bukan seleraku."

"Ouch. Aku sangat sedih mendengar pernyataanmu, Dokter Alexander Wilder. Padahal kau termasuk seleraku. Hanya saja aku sudah bosan melihatmu, Alexander. Aku membutuhkan sesuatu yang baru. Pemandangan baru. Mataku sudah terlalu lama beradaptasi dengan wajahmu yang sangat membosankan tersebut selama beberapa tahun terakhir ini."

"Kau baru saja menyebut tampangku yang luar biasa ini membosankan?" Alexander tersenyum miring dan misterius. "Kau tau berapa banyak wanita yang mendambakan tampangku yang membosankan ini bermain api  dengan mereka?" 

"Cih. Sombong." Alexia pura-pura membuang muka, meledek Alexander dan kemudian lanjut tertawa. "But seriously, menurutmu bagaimana? Apakah aku harus menerima ajakan kencannya?"

"Kenapa tidak?"

"Bagaimana kalau dia bersendawa di depanku sehabis memakan ayam goreng bawang?" 

Alexander tertawa keras. "Kau yang benar saja! Seorang cucu keturunan pria kaya Jepang mengajakmu berkencan untuk pertama kalinya dan memesan ayam goreng bawang? Dunia mana yang sedang kau tinggal, Alexia?"

Alexia ikut tertawa kecil menyadari betapa konyol pertanyaannya barusan. "Aku hanya bimbang. Sudah lama aku tidak pernah menjalin hubungan yang seperti itu. Aku takut aku akan mengacaukannya."

"And that's totally okay. So many things would happen when you slow down. Try to enjoy it, alright?" Alexander tersenyum kecil. Itu dia, senyuman Alexander yang selalu membuat hati Alexia terasa hangat.

"Oops, sudah hampir jam selesai istirahat. Aku kembali bekerja dulu ya." Alexia bergegas membereskan mejanya dan meminta pelayan kafe untuk membungkus latte-nya yang belum habis ke dalam gelas kertas. "Aku akan mengabarimu lagi nanti." Alexia melambaikan tangannya kepada Alexander dan bergegas keluar dari kafe. 

Alexander kemudian ikut menyudahi duduknya di kafe tersebut dan berjalan ke arah kasir untuk membayar tagihan minuman mereka tapi ternyata sudah dilunasi oleh Alexia. Alexander menggeleng pelan menyikapi tingkah laku Alexia yang sangat menggemaskan. "Apakah kalian sepasang kekasih? Kalian terlihat sangat cocok." Ucap perempuan muda yang menjadi kasir di kafe tersebut.

"Ah- begitu ya.." Alexander menanggapi pujian yang tidak benar tersebut dengan senyuman yang canggung. 

"Bukankah jarang sekali kita melihat seorang wanita yang melunasi tagihan makanan di jaman sekarang? Dia sangat lucu ketika ia meminta saya cepat-cepat membiarkannya melunasi tagihannya, katanya dia bisa mati di tempat jika ketahuan oleh anda, Sir." Kasir tersebut tertawa kecil dan melanjutkan, "Anda sangat beruntung, Sir. Have a nice day! Datanglah kembali ke kafe ini." Kasir menunduk sopan dan ramah kepada Alexander.

Alexander melangkah keluar dari kafe dengan senyuman kecil di wajahnya. Ia teringat kata-kata kasir tadi dan memikirkannya saja sudah terlihat sangat lucu. Oh, Alexia, I wish you knew how much these little things you did mean to me. 

Welcome HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang