10. Silent Beast (bmjc)

198 20 5
                                    

by. Bojoophile

Rating : PG-15 *kinda mature*



***

Ada yang menggelitik kuriositas Choi Bomin setelah tiga hari kakinya menginjak kelas baru di tahun kedua Sekolah Menengah Atas-nya.

Ialah, satu; suasana kelas yang lebih ramai dari kelasnya terdahulu. Dan dua; satu entitas yang sama sekali tidak tampak tertarik ikut campur di keramaian pada poin satu.

Mengapa Bomin berpikir demikian? Bukan tidak lain karena pemuda itu cukup observatif, ia tidak terlalu diam, tidak juga terlalu berisik membuat lelucon di sela-sela jam kosong.

Namun ia memperhatikan sekitar setiap detiknya, observasi serta usahanya mengolah suasana lingkungan menghasilkan satu simpulan pada titik bangku ketiga dari deret ketiga, sama dengan hanya berjarak satu spasi bangku dari bangku miliknya sendiri.

Seharusnya Bomin maklum, tidak semua orang bisa cepat berbaur dan menemukan teman di lingkungan baru, toh ia juga butuh waktu untuk beradaptasi hingga ia menemukan seorang teman di kelasnya yang lalu, sebelum akhirnya mereka harus dipisahkan lagi oleh sistem kepintaran yang berbeda.

Tetapi, seharusnya juga, bukankah seseorang harus memiliki teman paling tidak satu orang saja? Menutup diri serta menarik diri dari dunia tidak selamanya akan menjadi ide yang bagus, sebab mungkin esok atau lusa, kita setidaknya membutuhkan bantuan dari satu orang untuk tetap bertahan pada waras, pikir Bomin.

Ah, sekarang persetan pada waras, Bomin pikir ia sudah kehilangan kewarasan sejak mengamati pemuda seusianya di titik bangku itu.

Rambutnya tidak seperti siswa kebanyakan yang hitam legam (Choi Bomin, salah satunya), ada semburat cokelat tua yang menyembul pada anak-anak rambut yang menutupi sebagian sisi wajah. Matanya cukup tajam, jika Bomin tidak salah ingat, interpretasi perdananya saat melihat sepasang manik itu adalah seekor rubah yang pernah ia tonton di laman internet.

Hanya itu yang Bomin ketahui dari hasil observasinya pada lingkungan sekitar--atau boleh dibilang lebih spesifik lagi pada seorang Hong Joochan, si pendiam ulung di kelas. Siswa yang terang-terangan menarik utuh kuriositas Bomin hingga detik ini.

"Mata kamu sebentar lagi bolong karena lihat orang selama itu, Choi."

Bomin mengerjap, mengaburkan fokusnya pada bangku milik Hong Joochan dan segera menoleh pada sumber suara di sebelah kanannya.

Sial, jadi ia tertangkap basah?

"Aku enggak lihatin orang."

"Penasaran enggak, sih, kenapa Joochan kayak orang bisu?"

Bomin sesungguhnya ingin memukul temannya yang satu lagi itu--Bong Jaehyun. Pemuda yang konon menghabiskan masa kecilnya di kota besar dan pindah ke kota berpenduduk tak lebih dari empat ribu orang ini.

Namun Bomin rupanya urung, pertanyaan Jaehyun justru membuat rasa penasarannya semakin meningkat sebab ia juga memiliki pertanyaan yang sama.

"Kemarin di kelas satu juga aku satu kelas sama dia." Info Jaehyun, tanpa diminta. "Dia memang begitu, bicara apa adanya, mengerjakan apa-apa juga seadanya, karena dia enggak punya teman. Mungkin anak-anak lain juga malas berteman karena dia enggak mau terima teman."

Bomin sekali lagi menoleh pada sosok Hong di sana. Informasi yang lebih dari cukup perihal Joochan didapatkan oleh Bomin secara cuma-cuma, tetapi itu belum cukup untuk Bomin memetik kesimpulan atau sekadar mengira-ngira apa yang terjadi pada Joochan hingga Bomin seolah bisa melihat bongkahan es di sekitar pemuda itu.

BLACKBOARD.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang