14. Punya (dysy)

261 22 30
                                    

by. b

Rating: General Audiences
TW: Parental abuse (abusive parents), anxiety disorder, minor character death, slow burn (kinda), slight homophob.

***

Entah apa lagi yang harus dirinya lakukan, yang jelas bukan ini tujuan akhirnya. Namanya Choi Sungyoon, anak tunggal dari sepasang pengusaha yang cukup tersohor, seorang murid kelas dua SMA yang menjadi salah satu tim inti olimpiade fisika di sekolahnya. Medali perak ia dapatkan sebagai hasil usahanya selama seminggu kemarin, kalimat bangga seharusnya terlontar ke arah telinganya dan menjadi riuh sambutan untuknya saat sampai rumah. Seharusnya.

“Perak?! Ini baru pertandingan antar sekolah, HANYA DAPAT PERAK???? Awal bulan depan Kamu ikut olimpiade nasional, apa yang mau kamu bawa pulang??! Rasa malu?! Dasar bodoh!!”

Badan Sungyoon bergetar hebat, napasnya mulai memburu, ketakutan yang sejak tadi ia bayangnya akhirnya jadi kenyataan. Dirinya dipaksa berlutut di depan ayah dan ibunya yang sudah siap dengan sabuk dan sapu di tangan.

“Kami cari uang mati-matian, supaya Kamu bisa hidup! Kamu hanya perlu belajar pun jauh dari kata becus!”

Sungyoon meremat celananya kuat, pukulan demi pukulan diterima dari gagang sapu. Kepalanya semakin berputar, tanpa sadar suara denting jam jauh lebih menusuk telinga, menutup segala kalimat makian yang kedua orang tuanya ucapkan. Tanpa sadar air mata jatuh dari sirat kosong netranya. Sungyoon hilang dalam sakit di tubuh dan ruang hampa di kepala.

Dirinya hanya ingin punya keluarga harmonis yang bisa mengapresiasi pencapaian kecilnya, apa sesulit itu?

“Sudah berani kurang ajar ya?! Kalau orang tua bicara itu pasang telinga!!” pukulan dari gagang sapu berhenti, terganti dengan ujung besi dari sabuk yang biasa sang ayah kenakan. Beberapa cambukan diterima Sungyoon, menahan sekuat tenaga isak tangis yang akan keluar dari mulut. Ayah dan ibunya membenci anak cengeng.

“Ayah ampun!! Sakit-! Maafin Sungyoon, maaf ... maaf .... Sungyoon akan belajar lagi! Sungy- AHH!!” cambukan terakhir mendarat tepat di lengan atas sebelah kanan, Sungyoon hanya berharap dirinya masih bisa menulis esok hari.

Setelah melewati malam mengerikan yang panjang, di sinilah dirinya sekarang, menatap kosong lembar ulangan hariannya yang tertulis angka sembilan puluh delapan, nilai tertinggi dari seluruh kelas. Seharusnya dirinya bahagia, namun keadaannya saat ini berbanding terbalik. Napas Sungyoon mulai tidak beraturan, matanya bergerak tak nyaman, tubuhnya bergetar hebat, dan keringat dingin mulai bercucuran di pelipisnya.
Luka dan lebam akibat semalam sama sekali belum membaik, jika ayah dan ibunya tau tentang hasil ulanga itu ....

“Aku bisa mati,”

“Sungyoon??? Bicara apa?! Sungyoon kamu kenapa? Hei?! Obatmu mana? Sungyoon???” suasana kelas berubah menjadi riuh, namun teriakan dan bayang menyeramkan di kepalanya sudah sepenuhnya mengambil alih.

Terlepas dari rumahnya yang terlalu 'menyedihkan', Sungyoon cukup beruntung memiliki teman-teman yang peduli. Obatnya diminumkan sejak tadi dirinya meremas seragam, menahan perih di dadanya. Teman-temannya mengira Sungyoon memiliki asma atau semacamnya. Kini, dirinya yang terbaring di dalam UKS sudah jauh lebih tenang. Lima belas menit lagi bel pulang sekolah akan berbunyi, tapi jika boleh memilih, akan jauh lebih baik bagi Sungyoon untuk menginap di UKS.

Sungyoon benar-benar memutar otak untuk memperlambat dirinya sampai di rumah, pukul setengah lima sore dan ia baru tiba di depan pintu. Kenop diputar, berusaha menetralkan raut wajah agar terlihat tak terjadi apapun.

“Sungyoon,”

“Ibu ....” napasnya tertahan ketika netra menangkap sosok wanita paruh baya yang duduk di ruang tengah dengan mata nyalang. Sunyi terjadi selama beberapa saat hingga sang ayah keluar dari dalam kamar.

BLACKBOARD.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang