Fright

6.4K 724 54
                                    

Masih banyak pekerjaan yang harus ku kerjakan, disaat waktu jam kantor sudah berakhir sejak lima belas menit yang lalu. Apakah aku harus kembali lagi lembur? Disaat seminggu lebih aku tak kenal lembur?

"Lo gak pulang Qill?" Zanna menatap lurus wajahku yang kini sedang sibuk dengan MacBook.

"Pengennya sih pulang, tapi kerjaan gue, lagi manja, minta gue temani lebih lama." Sahutku, seraya berjalan kearah mesin foto copy.

"Yaelah. Yang ditemani tuh pacar, bukan kerjaan. Kerjaan mana bisa dipeluk." Balas Zanna sedikit meninggikan volume suaranya, karena posisi meja kerjanya dan mesin foto copy lumayan jauh. Beruntungnya diruangan ini, hanya ada kami berdua.

"Jomblo mau nemenin pacar siapa?" Jawabku pelan, sengaja biar Zanna tidak mendengar.

Aku hampir terhenyak, ketika tangan Zanna menepuk bahuku. "Gue duluan ya?"

"Hmmh.."

"Lo dijemput Daniel?"

Aku menggeleng. "Enggak, dia sibuk, ada pemotretan sama Miss Indonesia. Katanya pulang nya bakalan malem mungkin."

Zanna menatap wajahku dengan lekat, membuat aku mengerutkan kening ku tidak tahu, apa yang sedang dipikirkannya.

"Kenapa? Lo lagi mikir apa?"

"Gue heran. Kalian udah sering berbagi info aktivitas satu sama lain, tapi masih tanpa kejelasan?" Zanna mendelik.

"Memangnya kenapa? Salah?" Aku memandang bingung.

Pasalnya, sudah hampir satu bulan, sejak kepulangan kami dari Korea, aku dan Daniel selalu bertemu dengan sangat intens. Bahkan kami juga sering bertukar kabar lewat komunikasi.

"Gue heran sama Lo deh Qill. Kenapa lo harus memilih terjebak dalam hubungan tanpa status, dibanding dengan memiliki status yang pasti?"

Aku tertohok dengan perkataan Zanna. Pikiranku mendadak kosong, dan bibirku kelu, tidak bisa membantah sindirannya.

"Disini lo udah seperti orang jahat Qill. Menggantungkan perasaan Daniel, yang udah jelas-jelas dia menawarkan sebuah keseriusan." Zanna menggeleng.

"Sampe kapan, lo begini?" Tanyanya dengan ekspresi lelahnya.

"Kenyataannya, gue nyaman begini Zan. Dan Daniel pun gak menuntut gue, untuk segera menerima perasaannya."

Suara mesin fotocopy yang semula bergemuruh, kini sudah mereda bahkan tak lagi terdengar suaranya. Itu berarti semua berkas yang aku fotocopy sudah selesai.

"Berlindung dibalik hubungan tanpa status itu, hanya untuk orang yang pengecut Qill."

Tanganku yang sedang mengambil kertas hasil fotocopy'an, tiba-tiba berhenti mendengar sindiran sarkasme yang keluar dari mulut sahabat ku.

Aku sama sekali tidak sakit hati, dengan sindiran tajamnya. Namun aku berkali-kali tertampar dengan ucapannya itu.

Karena aku tidak menanggapi sindirannya, dia terdengar mendengus dengan sebal. "Dah ah. Gue cabut. Ngomong sama lo, berasa ngomong sama batu." Ucapnya, seraya melenggang pergi.

Bibirnya pun masih mendumel, dan aku masih bisa mendengarnya. "Batu aja, bisa kalah sama air, jika terus-terusan ditetesi air. Tapi elo, sama sekali gak ada perubahan. Bodo amat ah, bisa darah tinggi gue lama-lama."

Aku tertawa jenaka mendengar dumelannya, namun pikiranku mulai bekerja akan sindiran nya.

***

Setelah aku kembali ke ruangan ku, selepas dari pantry dengan secangkir kopi hangat di tanganku. Ponsel ku yang berada diatas meja, begetar. Menampilkan nama Ravi disana.

Ex's Invitation✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang