"Gw kabarin deh nanti bisa atau ga," kata Fitto yang sedang mendapat panggilan.
Entah apa yang terjadi sampai banyak sekali temannya yang menghubunginya hati ini.
"Enggak, gapapa kok, kalo gw ga bisa kalian-kalian aja," sahut Fitto lagi.
Ia berdiri dan berjalan menuju taman belakang. Salah satu spot favoritnya di rumah pondok indah.
"Oke-oke, soon gw kabarin. Thank you!" Setelah panggilan tersebut mati, Fitto memasukkan ponselnya ke dalam kantong celana yang ia gunakan.
Fitto menghela nafasnya berkali-kali. Ada banyak hal yang mengganggunya akhir-akhir ini. Padahal setelah dipikir-pikir, itu bukan masalah yang besar.
Ia ingat dulu, saat dirinya susah, tidak ada satupun temannya yang menghubungi untuk sekedar bertanya kabar atau apapun.
Sekarang, saat namanya sudah mulai dikenal banyak orang, semuanya seakan mendekat dengan sendirinya. Seperti temannya tadi yang tiba-tiba mengajaknya reunian. Fitto tidak akan pernah lupa kalau mereka lah yang pernah mem-bully-nya dulu.
Ia duduk di ayunan, seperti sedang merenungi kehidupannya saat ini.
Oh, Tuhan tunjukkan semua
Pada diriku teman yang setia
Memaniku apa adanya
Tanpa melihat aku ada apanyaDi mana teman setia seperti dulu
Saat aku susah
Menemaniku dengan ketulusan
Tanpa melihat arti ketenaran
Dan gemerlap bintangLagu Onyo sepertinya sangat mewakili perasaan Fitto kali ini. Jujur, ia merindukan semua temannya yang ada disaat dirinya susah ataupun senang.
"Jangan sedih, kakak."
Fitto tersentak kaget saat mendengar suara dari arah sebelah kanannya. Ia menengok, dan tidak ada orang disana.
"Siapa yang ngomong?" Gumam Fitto pelan.
"Kak Fitto."
Lagi-lagi Fitto menengok ketika merasa ada suara yang memanggilnya.
"Lila?" Sahutnya ketika melihat Lila sudah ada dibelakangnya.
Lila tersenyum, "kok sendirian, kak?"
Fitto menggelengkan kepalanya. "Enggak, kok. Gapapa," balas Fitto. "Eh, iya. Sini duduk," ucapnya sambil menggeser posisi duduknya, memberikan ruang lebih untuk Lila duduk disana.
Lila menurut, ia berjalan dan duduk di sebelah Fitto. "Beneran gapapa, kak?"
"Kenapa, kok nanya begitu?" Tanya Fitto penasaran.
"Ekspresi kakak beda aja," jawab Lila sambil tersenyum tipis. "Kalo kakak mau cerita, boleh kok ke aku," lanjutnya lagi.
Kali ini giliran Fitto yang tersenyum. "Cuma kepikiran sesuatu aja."
"Kakak sedih, Lila. Kakak merasa kalau teman-temannya hanya mendekatinya karena kakak mulai terkenal."
Lila mengenal suara itu. Siapa lagi kalau bukan suara milik Oliver.
"Kak," panggil Lila. "Ga perlu khawatir, bakal ketauan kok, mana yang selalu ada, dan mana yang ada pas ada sesuatu doang."
Fitto menatap Lila kaget. "Kok kamu tau aku lagi mikirin itu?"
Lila tersenyum kecil saat mendengar pernyataan Fitto. "Kan ada Oliver."
"Jangan bilang yang tadi sempet ngomong ke aku juga, Oliver?" Tanya Fitto.
"Gimana?" Balas Lila tidak paham.
"Tadi sebelum kamu dateng ada yang bilang, 'jangan sedih, kakak,' gitu. Itu Oliver?"
"Ya, Lila. Itu aku. Kamu lama sekali menghampiri kakak, jadi aku duluan saja," sahut Oliver.
"Astaga," Lila menggelengkan kepalanya. "Iya, kak. Tadi dia yang ngomong."
Fitto tersenyum. "Bilangin ke Oliver, makasih ya."
"Dia denger, kok. Dia aja masih di sebelah kakak."
Kemudian keduanya sama-sama tertawa.
"Kok kamu tumben dateng kesini? Masih hari selasa, loh," tanya Fitto.
"Diajak kak Yovan, soalnya dia bilang kemungkinan dia pulang malem banget hari ini. Mumpung lagi kosong juga, jadi ikut deh," jelas Lila.
Fitto ber oh ria. "Gapapa, sering-sering aja kesini, nemenin aku ngobrol," balas Fitto yang dijawab senyuman oleh Lila.
"La," panggil Fitto lagi.
"Iya, kak?"
"Kenapa sih, kayanya kamu happy terus? Kaya gaada beban masalah gitu," tanya Fitto penasaran.
Lila tertawa. "Tiap orang pasti punya masalahnya masing-masing, kak."
"Kamu ga pernah nunjukin."
"Karena ga setiap masalah perlu ditunjukin, kak," jawab Lila. "Ada beberapa yang cukup kita sendiri yang tau."
"Karena orang cuma perlu tau yang terbaik dari kita, bukan yang terburuk," lanjutnya lagi.
Jawaban Lila semakin menambah kekaguman dalam diri Fitto. Bahkan Fitto hampir saja melupakan bahwa Lila masih 16 tahun.
"Tapi kadang kamu perlu mengekspresikan diri kamu, La," saran Fitto.
"Aku emosional loh, kak aslinya," sahut Lila sambil tertawa. "Aku gampang banget nangis."
"Ah masa?" Balas Fitto tidak percaya.
Lila mengangguk. "Coba tanya aja ke kak Yovan, paling sering liat aku nangis dia."
"Jangan sering-sering nangis, nanti cantiknya ilang."
Blushhh...
Pipi Lila kembali memerah seperti tomat.
Bagaimana mungkin Fitto mengatakan hal itu dengan santainya, tanpa ada rasa gugup sedikitpun.
Sementara Lila, tentu saja jantungnya sudah berdebar tak karuan.
Melihat pipi Lila yang memerah, Fitto malah tertawa dan mengacak pelan rambut Lila. Membuat Lila semakin salting dibuatnya.
"Kak ihhh, jangan diacak-acak, berantakan," rengek Lila sambil memegang tangan Fitto.
"Gapapa, kan bakal tetep imut juga," Fitto masih terus melanjutkan godaannya.
"Kakakkk," rengekan Lila menambah tawa yang tercetak pada wajah tampan Fitto.
Untuk kesekian kalinya, Lila terpana melihat tawa laki-laki itu.
Lila tersenyum kecil, untuk kali ini ia berharap, bisakah Fitto memang ditakdirkan untuknya?
~•~
-SFT-
5 Januari 2022

KAMU SEDANG MEMBACA
My Destiny, A Fiction Story About : Fitto Bharani
FanficPertemuan keduanya yang tidak terduga Pertemuan keduanya yang menimbulkan rasa nyaman Pertemuan keduanya yang menimbulkan rasa ingin melindungi Dan pertemuan keduanya yang menimbulkan kembali rasa yang pernah hilang. Alila Arnawama Rakha Seorang gad...