PROLOG

415 40 83
                                    

Triiiing!

Dering suara ponsel memenuhi langit-langit kamar Arhan. Bukan, bukan ponsel miliknya, melainkan ponsel milik Alya--ibunya. Sepertinya ponsel ini tertinggal semalam saat Alya mengantar Caca--adiknya--agar tidur bersama Arhan. Kebetulan, semalam ada tamu menginap, jadi Caca harus merelakan kamar bernuansa pink-nya dipakai oleh tamu itu.

Arhan mengerjapkan matanya, melirik ponsel yang menyala di samping Caca yang masih terlelap. Nama 'Mr Stevv' terlihat di sana, membuat Arhan mengerutkan dahi. Pandangannya beralih ke arah angka yang terlihat di ponsel. 02:20, masih terlalu pagi untuk menelepon bukan?

Suara dari ponsel terus terdengar, seakan menuntut untuk dipedulikan.

Merasa kesal, Arhan langsung mengangkatnya. Ia terlalu malas untuk beranjak ke kamar ibunya.

"Hello, Alya!" Suara langsung menyambar setelah ponsel berada di telinga Arhan.

"Hello?" Arhan membalas ragu.

"Who is this?" Suara dari seberang telepon logat luar negri terdengar.

"Aaa-a-im Arhan," ujar Arhan gugup. Pasalnya ia tidak pernah bercakap dengan orang luar negri. Walau sang Ayah orang Inggris, tapi ia masih belum lancar berbicara dengan bahasa internasional itu.

"Is there Alya?"

"Wait," final Arhan segera menuju kamar ibunya.

02.27, Arhan berulang kali mengetuk pintu kamar ibunya. Tidak ada sahutan dari dalam, membuat Arhan bingung.

"Ma!" Arhan mencoba meninggikan suaranya. Hening, masih tidak ada jawaban.

"Sorry, my mother is sleeping," ujar Arhan kembali mendekatkan ponsel milik Alya ke telinga.

"Are you Alya's son?"

"Yess."

"Your father ... He is dead." Suara dari seberang telepon melirih, disambut dengan helaan napas panjang. Arhan mematung seketika.

"W-wh-what?"

"Your father's dead." Kali ini, suaranya terdengar lebih tegas.

"No way, you must be lying! Kamu pasti bohong!" Arhan membentak tanpa sadar.

Jujur, hati Arhan terasa sangat sakit sekarang. Ingatannya kembali ke satu tahun yang lalu.

"Papa mau ke mana?" Caca menghadang ayahnya yang sudah berpakaian rapi.

"Papa mau pergi sebentar, Ca." Bukan papanya yang menjawab, melainkan ibunya.

"Perginya ke mana?" Arhan angkat bicara.

"Papa harus ke Inggris, Nak. Perusahaan kakek kamu membutuhkan Papa." Kali ini papanya yang menjawab.

"Inggris? Terus kapan Papa ke sini lagi?" Arhan kembali bertanya.

Terdengar helaan napas dari pria dewasa di depan adiknya. Arhan yang posisinya di samping Caca ikut menghela napas.

"Papa akan kembali kalau sudah ada yang ngurus perusahaan kakek kamu."

Arhan segera memeluk papanya dari samping, Caca yang masih berusia tujuh tahun ikut memeluk papanya. Juga Alya yang dari tadi menyaksikan, perlahan maju, ikut memeluk bersama janin di perutnya, yang bahkan belum diketahui keluarganya.

"Papa janji secepetnya ke sini, 'kan?" Arhan bertanya mendongak manatap wajah papanya yang mengangguk.

Tidak ada yang tahu, saat itu adalah hari terakhir keluarga kecilnya berkumpul lengkap. Di saat Arhan masih berusia 13 tahun, di saat tanda-tanda kehidupan baru dalam perut Alya belum diketahui siapa pun, di saat Caca sebentar lagi akan naik ke bangku kelas dua, naik kelas pertama kali di bangku sekolah dasar. Tidak ada yang tahu, kalau janji papanya saat itu tidak akan pernah terbayar.

*

*

*

*

*

*

Welcome, Arhan hadir di sini, semoga suka yaa...

Jangan lupa untuk selalu bahagia.

ARHAN || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang