7. Keharusan

54 7 8
                                    

Setelah mengantarkan Naila pulang, Arhan langsung kembali ke rumah sakit. Sebelum ke ruangan tempat Caca di rawat, ia menuju ke tempat administrasi.

"Mbak, untuk pasien yang bernama Charissa apa sudah diperbolehkan pulang?"

"Sebentar ya, Mas. Saya cek datanya dulu."

Arhan menunggu staff administrasi mencari data pasien. Setelah beberapa menit, data pasien bernama Charissa sudah dipegangnya.

"Dari perkembangan kesehatannya, pasien bernama Charissa sudah aman jika dibawa pulang, pengobatannya sudah cukup, hanya istirahat yang dibutuhkan," jelas wanita yang sedang memegang beberapa lembar kertas.

Arhan memutuskan untuk segera memulangkan adiknya, untuk meringankan beban pembayaran rumah sakit. Ia juga Sudah menemukan kontrakan yang nyaman dengan biaya murah di sekitar toko bangunan tempat ia diterima kerja.

"Mbak, untuk total biaya perawatan adik saya, dan rawat inapnya berapa, ya? Rencananya, saya akan membawa adik saya pulang besok sore." Arhan bertanya lirih, memikirkan soal biaya memang berat. Untungnya, dia sudah menyimpan satu juta pada pihak rumah sakit sebelumnya, berjaga agar uangnya tidak terpakai.

Wanita itu bermain dengan kalkulator, menghitung total biaya rumah sakit. Sedikit lama, membuat detak jantung Arhan melaju cepat.

"Total biaya pasien atas nama Charissa sampai besok malam yaitu satu juta--"

'Alhamdulillah, tidak sampai dua juta,' pikir Arhan mendengar awalan angka yang disebutkan staff administrasi.

"--tujuh ratus dua puluh sembilan ribu lima ratus rupiah," ujar wanita itu dengan cepat, membuat arhan melongo mendengarnya.

'Aku masih membutuhkan hampir satu juta lagi untuk biaya rumah sakit ini,' batin Arhan sedikit lemas.

"Sudah dibayar satu juta ya, Mas." Arhan mengangguk lemah. "Kurangnya, tujuh ratus dua puluh sembilan ribu lima ratus rupiah," lanjutnya, membuat Arhan mengangguk lagi, lebih lemah dari sebelumnya.

"Terima kasih, Kak. Saya usahakan bisa membayarnya sebelum membawa adik saya pulang." Arhan pergi menuju kamar inap Caca setelah diangguki wanita yang menjadi salah satu staff administrasi. "Marii," ujar Arhan sopan.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk ke ruangan Caca, adanya lift juga mempercepat waktu yang dibutuhkan Arhan untuk sampai ke lantai tiga.

"Assalamu'alaikum," salam Arhan seraya membuka pintu ruang rawat Caca.

"Waalaikumsalam." Salam Arhan dijawab kompak oleh ketiga anak kecil dengan nyaring, membuat mood Arhan bertambah.

"Kalian belum pada tidur?" Arhan mendekat ke arah brankar tempat Caca berada. Mereka terlihat berkumpul di sana.

"Belum, kan nunggu Kak Arhan," jawab Kamila yang matanya sudah terlihat sedikit memerah.

"Kakak gak usah ditungguin, kalian tidur aja. Besok sekolah, loh." Arhan mencubit pelan kedua pipi Kamila yang berisi.

"Kakak kok lama banget nganter Kak Naila-nya?" Caca bertanya, membuat Arhan memfokuskan pandangannya ke arah Caca.

"Iya, tadi Kakak tanya-tanya dulu di bawah. Nanya kalo Kamu udah diperbolehkan pulang atau belum."

"Aku udah boleh pulang?" Caca yang tadinya lemas, terlihat ceria seketika. Yah, sepertinya Caca sangat bosan di sini.

"Udah," jawab Arhan sambil mengangguk.

"Yeay!" Caca berteriak senang.

Lain dengan Kamila dan Darel yang diam saja. Terlihat, mata kedua anak kecil itu sudah tertutup. Kamila yang tenang, dan Darel yang berkali-kali menjatuhkan kepala dengan mata yang tetap terpejam, membuat Arhan tersenyum sambil meletakkan jari telunjuknya di bibir, mengisyaratkan kepada Caca untuk tidak berisik. Caca yang juga sudah melihat Darel dan Kamila ikut meletakkan telunjuknya di bibir sambil tersenyum menahan tawa.

ARHAN || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang