9. Enggan Pulang

65 8 11
                                    

Arhan menjemput Darel dan Kamila di rumah Naila. Koh Ari sudah mengizinkannya untuk menjemput adiknya setiap pukul 10.00, termasuk juga, ia mendapat keringanan masuk kerja setelah mengantar adiknya ke rumah Naila. Koh Ari memang sangat murah hati pada karyawannya.

Bukan hanya Arhan yang memiliki keistimewaan di sini. Karyawan lain juga memiliki keringanan dari Koh Ari. Misalnya Ara, ia diperbolehkan pulang lebih awal, karena ia juga bekerja di tempat lain. Mega juga diperbolehkan membawa kucing peliharaannya ke tempat kerja. Asalkan kita jujur, Koh Ari akan memaklumi.

Arhan memarkirkan motornya, membantu dua anak kecil yang masih duduk di atas motornya agar turun. "Kak, Kak Caca hari ini udah boleh pulang?" Darel memulai percakapan.

Mereka sudah memasuki rumah sakit, berjalan ke arah salah satu lift untuk menuju lantai tiga.

"Iya. Makanya, nanti kalian siap-siap ya, beres-beres barang yang mau dibawa pulang."

"Yeayy! Oke, Kak." Darel tersenyum lebar.

Arhan melihat Kamila, seketika ia ingat akan poster anak hilang sebelumnya. Arhan merogoh sakunya, mengeluarkan kertas yang terlipat kecil, kemudian membukanya sempurna.

"Kamila, kamu lagi dicariin sama orang tua kamu," ujar Arhan lembut, memperlihatkan kertas di tangannya pada Kamila.

"Punya Darel mana?" sela Darel ketika melihat ada foto Kamila di selembaran yang kakaknya pegang. "Kok cuman foto Kamila?" Senyum Darel sempurna tergantikan dengan cemberut.

"Maksudnya apa ini, Kak? Mama sama Papa nyariin aku? Mana? Kak Arhan dapet dari mana foto itu?" tanya Kamila beruntun.

Kesalahan, Arhan sadar melakukannya. Kamila masih belum mengerti kalau kertas ini adalah poster anak hilang. Anak kecil ini belum terlalu pandai membaca. Justru, ini membuat Darel iri, karena hanya ada foto Kamila, tidak ada fotonya juga.

Lift terbuka di lantai tiga, Arhan bersama dua anak kecil di sampingnya keluar dari lift.

"Kertas ini, untuk mencari orang hilang." Arhan menjelaskan sesuai dengan apa yang terlintas di kepalanya. Mereka berjalan menuju kamar rawat Caca.

"Wah, hebat! Kertas itu bisa nyari orang?" ucap Darel kembali antusias. Perasaan anak kecil memang mudah berubah. Masih polos.

"Bukan gitu maksudnya," keluh Arhan, bingung bagaimana menjelaskannya. "Jadi, kertas ini itu dibagiin ke banyak orang, terus kalo orang-orang yang dapet kertas ngeliat orang yang ada di kertas ini, disuruh nelpon nomor yang ada di sini." Arhan menunjuk angka-angka yang terdapat di bawah foto Kamila.

"Oooooh," ujar Darel terlihat paham. "Jadi Kamila lagi dicari sama kertas? Kok bisa?"

"Astagfirullah," sebut Arhan lirih. "Bukan gitu, Arel Ganteeeeeng!" Arhan mengembuskan napas pelan.

"Terus gimana?"

Mereka kini sudah berada di depan ruang rawat Caca. Arhan membuka pintunya, dan masuk bersama Kamila dan Darel.

"Yang nyari Kamila itu orang, bukan kertas." Arhan menghampiri adiknya yang terbaring di atas brankar. Caca bangun dan menyalimi Arhan.

"Terus yang nyari siapa?"

"Yang punya kertas ini. Pasti, yang nyari Kamila itu keluarganya. Kan Kamila juga punya keluarga."

Kamila hanya terdiam menyimak perdebatan antara kakak beradik yang membahas dirinya.

"Oooohhh." Darel kembali ber-oh. Kali ini sepertinya ia benar-benar paham.

"Kakak mau lanjut kerja lagi, ya. Kalian rapi-rapi, nanti sore kita pulang," intruksi Arhan yang disambut muka ceria oleh adik-adiknya.

ARHAN || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang