3. Kabar Gembira?

122 24 63
                                    

Hari ini, Darel tidak sendirian menjaga kakak perempuannya, dia bermain bersama teman baru yang sudah mulai akrab.

Lain dengan Arhan, ia masih kesulitan untuk mencari pekerjaan. Setiap perusahaan di sekitar rumah sakit tempat Caca dirawat sudah ia kunjungi, begitu pun toko-toko, bahkan warung-warung juga ia kunjungi. Sepertinya dia harus mencari di tempat yang lebih jauh. Mungkin besok dia akan mencari pekerjaan dengan mengendarai motornya.

Matahari sudah bersiap turun dari puncak tertingginya, tapi panasnya masih sangat terasa membakar kulit. Arhan masih berjalan mencari pekerjaan yang mungkin dia bisa dapatkan. Dia tak menyadari bahwa sekarang dia memasuki kawasan berbahaya. Sepi, sunyi, rumah pun jarang terlihat di sini. Nuansa pasir coklat dengan tumbuhan yang mengelilingi, ini seperti jalanan yang habis digusur. Arhan merasakan pening di kepala.

"Ngapain lo," cegat seseorang tiba-tiba muncul di depan Arhan.

Arhan terdiam sebentar, menatap tiga pria yang kini menghalangi jalannya. "Nyari kerja, Bang," jawab Arhan menahan pening di kepala.

"Nyari kerja? Salah tempat lo!" ujarnya lagi mengundang tawa dua orang di belakangnya.

Arhan sangat malas untuk meladeni. Dia terus jalan tanpa tau arah, melewati tiga orang yang menghadang melalui celah di antara mereka.

"Sialan!"

Brugh! Arhan mendapat pukulan keras di bagian belakang kepalanya, membuat ia tersungkur mencium tanah tandus.

Tawa tiga orang di belakang Arhan terdengar memenuhi telinga Arhan.

"Makanya, jadi bocah jangan belagu!"

"Belagu amat lo jadi bocah!"

"Sekolah dulu sana yang bener!"

Samar-samar suara ketiga orang di belakang Arhan terdengar. Semakin lama semakin samar. Pening di kepala Arhan semakin terasa, dan akhirnya Arhan tak merasakan apa-apa lagi.

💔💔💔

Matahari sudah bersiap tenggelam. Perlahan, kedua mata Arhan terbuka. Pusing, itulah yang Arhan rasakan saat ini. Ia terbangun dengan keadaan mengenaskan. Posisinya masih di atas tanah tandus dengan pakaian yang berantakan dan kotor, ia juga kehilangan ponselnya serta jam tangan peninggalan Papanya. Bahkan uang yang sengaja ia bawa untuk membeli makanan sebelum kembali ke rumah sakit pun hilang. Untungnya nyawa Arhan masih selamat, dia tak bisa membayangkan kalau tiga orang yang menghadangnya tadi siang membunuhnya, bagaimana nasib kedua adiknya dan Kamila di rumah sakit?

Arhan berusaha bangkit dan pergi meninggalkan tempat ini. Ia benar-benar kacau, ia tak memiliki tenaga untuk berlari. Pasti Darel dan Kamila sedang menunggunya. Tapi, ia tidak berdaya untuk mempercepat langkahnya.

Selintas, bayangan Mamanya muncul. 'Kamu laki-laki paling tua di keluarga ini, setelah Papa meninggal, kamu adalah kakak sekaligus papa bagi Caca dan Darel, kamu semangat ya, kamu pasti bisa jadi orang hebat!' Ucapan dari mamanya membuat ia menitikkan air mata. Yah, dia harus kuat, dia pasti bisa menjadi orang hebat, semangat Arhan!

Akhirnya rumah sakit terlihat oleh kedua mata Arhan, sebentar lagi ia bisa melihat keadaan adik-adiknya. Ia terus berusaha melangkah, hingga rumah sakit berhasil dimasuki. Sekarang, ia menuju lift untuk naik ke lantai tiga.

Arhan berusaha sekuat tenaga menuju kamar tempat adiknya berada.

"Kak Arhan!" Darel langsung memeluk Arhan saat Arhan membuka pintu ruangan. "Kenapa lama?" Arhan hanya terkekeh pelan. "Ish," Darel melepas pelukannya tiba-tiba. "Kak Arhan bau acemmm!" Arhan semakin terkekeh melihat Darel.

ARHAN || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang