2. Terpaksa Dewasa

162 27 71
                                    

"Kak Caca kenapa, Kak?"

"Kak Caca gak papa, Arel."

___

"Kak Caca kapan bangun, Kak?"

"Sebentar lagi, kok."

___

Kak Caca sakit apa, Kak? Kenapa gak bangun-bangun?"

"Kak Caca gak kenapa-napa, Kak Caca cuman istirahat sebentar."

___

"Kakak mau ke mana?"

"Kakak harus cari kerja, Arel."

"Arel mau ikut?"

"Jangan, kamu di sini aja ... jagain Kak Caca."

___

Sekarang, Arhan memiliki tanggung jawab penuh mengurus kedua adiknya. Di usianya yang sebentar lagi baru tujuh belas tahun, dia sudah memiliki tanggung jawab seperti orang tua. Adik perempuannya yang koma di rumah sakit baru berumur sebelas tahun, dan si kecil Darel masih Balita, tepatnya empat tahun.

Harta peninggalan orang tuanya sudah banyak dikeluarkan untuk biaya hidup keluarga. Belum lagi adik kecilnya harus masuk Taman Kanak-kanak tahun ini. Caca juga akan lulus Sekolah Dasar di tahun ajaran ini. Bagaimana Arhan bisa mengurus semua. Ingin rasanya menyerah, tapi ia tak tega meninggalkan Darel sendirian.

Arhan terpaksa harus putus sekolah. Hari ini, di awal kakinya menginjak kelas dua belas. Di mana seharusnya ia fokus untuk belajar, memikirkan kelanjutan hidupnya antara kuliah, kerja, atau menikah, Arhan sudah harus fokus untuk mencari nafkah.

Setelah mengurus segala yang ia anggap penting, ia berkeliling kota Jakarta untuk mencari pekerjaan, lebih tepatnya berkeliling di sekitar rumah sakit. Biaya sekolah Caca tahun ini sudah ia bayarkan lunas, tinggal menunggu biaya yang berhubungan dengan ujian dan kelulusan. Begitu pula biaya pendaftaran sekolah Darel yang akan berlangsung selama dua tahun. Arhan hampir menghabiskan harta peninggalan orang tuanya lebih dulu untuk keperluan yang penting. Ia takut jika uang itu terbuang-buang percuma. Bahkan ia menitipkan uang di rumah sakit, sebagai tabungan biaya rawat adiknya.

Langkah demi langkah ia lewati, dari pagi sampai hampir malam ia terus berusaha mencari, tapi belum ada hasil sama sekali. Sulit sekali mencari pekerjaan di kota Jakarta ini, apalagi ijazah yang ia miliki hanya ijazah SMP. Walaupun ada nilai rapot kelas sepuluh yang lumayan bagus, tapi itu sama sekali tidak membantu. Selain itu juga, karena wabah yang sedang menguasai dunia ini, semakin mempersulit Arhan yang tidak berpengalaman untuk diterima kerja.

Lelah, Arhan sangat lelah sekarang. Ia memilih istirahat sejenak, duduk sembarangan di pinggiran jalan, sesekali membuka masker yang menutup setengah wajahnya untuk menghirup udara dunia.

Dari tempat Arhan duduk, terlihat di kejauhan seorang gadis kecil sedang menangis. Jika perkiraannya benar, sepertinya gadis itu seusia dengan adik laki-lakinya. Pemandangan yang sangat menyedihkan, gadis sekecil itu duduk sendirian di pinggir jalan sambil. Arhan bangkit dari duduknya dan menyebrang jalan, menghampiri gadis kecil itu. Hatinya merasa kasihan melihatnya.

"Kamu kenapa, Cantik?" tanya Arhan lembut pada gadis kecil itu.

"Ma-ma-mama ja-ja-jahaaaat." Gadis kecil itu menjawab sambil terisak, sangat memilukan.

"Emang, Mamanya Cantik kenapa?" Arhan berusaha akrab dengan gadis kecil itu.

"Ma-mama ma-marah-marah sama a-aku." Gadis kecil itu menjawab dengan sesenggukan.

ARHAN || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang