14. Polisi dan Kesedihan

44 8 10
                                    

___Happy Reading!!! ___

Cahaya matahari menembus kaca jendela kamar rawat Arhan. Sendiri, ia terbaring tak berdaya di sana.

Pintu kamar rawat itu terbuka, menampilkan sosok gadis kecil yang menatap sendu.

"Kak Arhan," lirihnya, yang tak digubris sama sekali. Arhan masih tenang dengan posisinya, tidak terganggu dengan suara, juga sinar matahari yang sudah sempurna menembus jendela, setelah tirainya dibuka gadis kecil itu.

Caca, gadis kecil itu sekarang duduk di samping brankar tempat kakaknya berbaring. Air matanya menetes tak henti, sejak memasuki ruangan serba putih ini.

Naila, Darel, Kamila, juga Vivi masih berada di rumah. Mereka berencana mengunjungi Arhan setelah sekolah. Begitupun Caca, sekolahnya sudah mulai masuk. Tapi, dia tidak menginjakkan kakinya ke rumah gurunya saat ini, sesuai izinnya dengan Naila. Ia memilih mengunjungi kakaknya yang setia menutup mata.

"Kak Arhan gak cape tidur? Kakak kapan mau bangun? Kak Naila udah janji sama Arel, kalo Kakak akan bangun hari ini.... Kakak bangun, ya? Tepatin janji Kak Naila.... Kakak, bangunn! Demi Caca, demi Arel, Kamila.... Bangun, Kak!" Tangisnya pecah, suaranya semakin meninggi di akhir, dengan getaran yang mencekat di tenggorokan.

Braakkkkk!

Bersamaan dengan tangisan Caca yang mulai kembali tenang, suara pintu dibuka keras mengagetkan. Sayangnya, Arhan masih tenang dalam diam."

"Mana anak saya!" bentak seoarang pria dewasa yang terlihat emosi. Seketika tangis Caca terhenti, tergantikan dengan rasa takut.

Pria itu mendekati Caca, diikuti beberapa orang berseragam cokelat khas polisi. "Mana anak saya?!" ulang pria itu saat sudah berhadapan dengan Caca.

"A-anak, Ba-bapak? S-siap-pa?" ucap Caca kesulitan. Rasa takut bercampur bingung setelah tangis membuatnya kesulitan berbicara.

"Iya, Kamila, mana Kamila anak saya?!"

"K-kamila? D-dia gak ada d-di sini, P-pak."

"Jangan bohong kamu! Saya liat Kamila bersama kalian di TV dua hari yang lalu."

"T-tapi, K-kamila emang g-gak ada di s-sini."

Plakk!

Dengan teganya, pria dewasa itu menampar pipi gadis kecil di hadapannya. Dua polisi di belakangnya maju, menghentikan tangan pria itu yang siap memukul tanpa ampun.

"Jangan gunakan kekerasan terhadap anak kecil, Pak," tegur salah satu polisi itu.

"Dua hari yang lalu kami melihat kecelakaan tersiar di TV, dan kami melihat anak hilang yang selama ini kami cari berada di tempat kejadian. Setelah mencari tahu, kami menemukan tempat ini. Apa Adek tau di mana gadis kecil bernama Kamila?" Polisi lainnya menjelaskan, sambil menunjukkan selembar foto ke arah Caca.

Foto Kamila terlihat celas di hadapannya, perlahan dia mengangguk. "S-saya tau, tapi, Kamila gak ada di sini?"

"Di mana dia?!" bentak pria dewasa yang sudah dipastikan adalah ayah dari Kamila.

"Di r-rumah Kak Naila.... Dia lagi sekolah."

"Sekolah? Sekolah apa?!"

"Lebih baik, Adek ikut kami. Tunjukkan di mana keberadaan Kamila."

Caca mengangguk ragu.

💔💔💔

"Sampai sini dulu, ya, pembelajaran kita hari ini. Semangat terus belajarnya, ya...."

Naila menghentikan aplikasi zoom di laptopnya, beralih menatap tiga anak di sampingnya yang ikut belajar sejak tadi.

"Kak, ayo ke Kak Arhan." Darel berkata dengan mata berbinar.

"Ayo, Kak," sahut Kamila.

"Katanya mau cari ibuku, Kak?" Kali ini suara lirih dari mulut Vivi.

Hening sejenak....

"Gimana kalau Darel sama Kamila tunggu di sini dulu? Tungguin Kak Caca pulang sekolah? Istirahat sebentar. Nanti kalo Kak Caca udah pulang sekolang, kalian bertiga langsung ke rumah sakit deh. Kakak mau bantu Vivi nyari ibunya dulu."

"Yaaaah," ujar Darel dan Kamila kompak.

"Aku sendiri aja gak papa, Kak. Kakak sama Darel sama Kamila ke rumah sakit aja," ujar Vivi pelan.

"Eh, jangan cari sendirian, Vi."

"Iya, Kak.... Kak Vivi sama Kak Naila pergi aja, cari ibunya Kak Vivi. Kita gak papa di sini, kok. Iya 'kan, Rel?" Kamila berkata manis.

"Iya, Kak. Kita tungguin Kak Caca aja," ujar Darel kemudian.

Keputusan diambil, Vivi dan Naila pergi mencari keberadaan ibunda Vivi, meninggalkan Darel dan Kamila di rumah.

Tak lama setelah itu, mobil hitam dengan lampu berwarna biru dan merah di atasnya, berhenti di depan rumah Naila. Beberapa orang di dalamnya turun, termasuk Caca dan pria dewasa--Papa Kamila. Juga pria berseragam cokelat di belakangnya.

"Kamila! Kamilaa!" teriak papa Kamila tak tau aturan. Seketika pintu rumah terbuka, menampilkan sosok Kamila dan Darel di sana.

"KAMILA!" Edo--papa Kamila--bergegas mendekati Kamila, menariknya kasar dari sana.

"Ini anak saya, Pak, mereka menculik anak saya!" ujar Edo, menunjuk ke arah Caca."

Caca yang ditunjuj tersentak kaget, begitupun Darel yang masih berusaha mencerna situasi.

"Tangkap dia, Pak!"

Pria berseragam cokelat di sana menarik paksa lengan Caca tiba-tiba, memborgolnya tanpa aba-aba. Kemudian, menariknya masuk kembali ke dalam mobil.

"KAK CACAAA!" teriak Darel setelah semua masuk ke dalam mobil hitam itu.

Darel mendekati mobil itu, sayangnya, mobil itu jalan sebelum Darel dapat menggapainya. Darel berusaha mengejar, tapi langkahnya tak mampu menyetarakan laju mobil. Cepat sekali kejadiannya, bahkan sebelum Darel paham. Sampai sekarang pun, Darel masih belum mengerti situasi yang terjadi. Yang Darel tahu, bahwa Kakaknya--Caca--ditangkap polisi.

Kakinya lelah, lututnya terjatuh mencium aspal. Air mata anak lelaki itu tumpah, dia terduduk di tangah jalan, sendiri. Luka di lututnya tak terasa, terkalahkan dengan luka hatinya yang sakit karena kehilangan.

Lain dengan Edo yang berada di mobil dalam perjalanan menuju kantor polisi. Pikirannya tertuju pada sosok anak laki-laki yang berada di belakang Kamila tadi. Entah mengapa, ada sesuatu yang tidak asing dari mata anak itu. Laki-laki dewasa itu, mengabaikan tangisan Kamila di pangkuannya, juga Caca di sampingnya.

💔💔💔

*

*

*

*

*

Doble up.... 😁😁😁

Gimana dengan partai ini? Greget gak?

Maaf sidikit, yaaa, yang penting doble up kan.... 😁😁

Bantu ramaikan gaiisss, biar diriku semangattt...

Semoga sukses untuk kita semuaa

ARHAN || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang