17. Bangun?

51 8 11
                                    

"Kak Arhan!"

Semua menoleh ke arah sumber suara, kemudian beralih ke arah seorang lelaki yang terbaring tak sadar. Hening sejenak, mata mereka kembali serempak menatap anak kecil yang bersuara tadi.

"Kenapa, Rel?" Naila berkata lembut, menatap manik Darel dalam.

"Kak Naila ... tadi tangan Kak Arhan gerak."

Naila, juga yang lainnya, kembali menatap Arhan. Naila dan Darel kembali melangkah mendekati brankar tempat Arhan berbaring, pun mendekati bos juga rekan kerja Arhan.

"Kamu yakin, Dek?" sela Dito asal. Darel hanya mengangguk mantap.

Naila kembali menatap Darel. Melihat wajah Darel yang berseri, membuat Naila yakin dengan ucapan Darel. Wajahnya menunjukkan rasa senang ketika memiliki harapan untuk terkabulnya keinginan.

"Kak Arhan, bangun dong, jangan merem terus. Gak capek apa, Kak?" Darel kembali bersuara saat harapannya tak kunjung terealisasikan. Wajah berserinya mulai luntur perlahan, kembali dengan tatapan dingin yang suram.

"Han, bangun napa! Baru juga kerja sehari, udah liburan aja!" sambung Dito dengan mulut embernya. Ara refleks memukul tepat di bibir Dito.

"Awww! Ini tangan kasar banget, sih, kaya tukang angkat beton!" protes Dito.

"Daripada mulut lo, kaya banci rawa rempong!" balas Ara tajam, namun lirih.

"Ternyata mulut lo tajem juga, yee...."

Seperti biasa, Ara memilih kembali diam, menghiraukan ocehan Dito.

Kalo suasana hati Darel sedang baik, pasti dia akan ikut campur dengan urusan dua orang itu. Sayangnya, dia tidak sedang dalam keadaan baik.

"Tangan Kak Arhan gerak lagi!" teriak Darel setelah hening beberapa detik. Wajahnya kembali berseri, dengan senyuman manis di sana.

"Kamu bener, Rel!" Naila yang juga melihat dua jari kiri Arhan bergerak ikut antusias. Wajahnya tak kalah berseri dengan Darel.

Setelahnya kembali hening. Arhan benar-benar menjadi pusat perhatian saat ini. Gerakan di jari tangannya terlihat semakin jelas. Matanya yang terpejam juga terlihat berusaha membuka.

"Arhan," panggil Naila tanpa sadar dengan suara lirih, tanpa embel-embel 'mas' atau 'kak'.

"Bu...." Suara lirih Arhan terdengar, matanya mengerjap perlahan, menyesuaikan cahaya lampu ruangan yang menyilaukan.

"Kak Arhan!" Darel memanggil Arhan hampir berteriak. Rasa senang di dalam dirinya tak tertahankan.

"A-re-l," balas Arhan dengan suara serak. Bibirnya berusaha tersenyum, sayangnya terlihat memaksakan.

Darel memeluk tubuh Arhan seketika, kepalanya ia letakkan di daada bidang Arhan. "Kak, Arel kangeeen." Tangan Arhan bergerak pelan mengelus kepala Darel sebagai jawaban.

"Kakak juga," balas Arhan dengan suara sangat pelan, hanya dirinya sendiri yang dapat mendengar.

"Arhan'aaa, gimana keaadaanmu'a? Koh Ari bertanya kemudian.

Arhan berusaha bangun dari posisi tidurnya, membuat Darel mengangkat kepalanya.

"Sambil tiduran aja'aaa."

Arhan tetap saja berusaha bangkit, membuat Rizal di yang posisinya sejajar dengan kepala Arhan di sebelah kanan membantu. Rizal memang jarang berbicara, tapi tatapannya terlihat sangat peka.

"Pas banget, ya, kita ke sini, lo sadar ... emang, sih, gue emang pembawa keberuntungan," kekek Dito kemudian, membuat Ara di sampingnya merotasikan mata.

ARHAN || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang