4. Kebetulan

98 11 20
                                    

Sinar matahari sudah menembus kaca jendela ruangan Caca dirawat. Arhan sudah terjaga sejak tadi, ia bersiap untuk bekerja walaupun hanya sehari di warteg tempat semalam ia membeli makan.

Ya, mereka berempat akan tinggal di rumah sakit untuk sementara, sambil menunggu kondisi Caca pulih. Tempat tinggal mewah milik keluarga Arhan terpaksa ia jual, Arhan akan mencari tempat tinggal yang lebih sederhana sambil mencari pekerjaan tetap.

Pukul enam pagi, sesuai yang dijanjikan Ibu warteg kemarin, Arhan sudah berada di warteg untuk mendengar penjelasan dari Bu Amal--pemilik warteg.

"Jadi dikira-kirakan saja ya, Mas. Kalo satu centong yang besar lima ribu, kalo yang kecil tiga ribu. Terus kalo ada yang minta dua ribu, pakai centong yang kecil tapi jangan penuh."

Arhan mendengarkan penjelasan Bu Amal dengan serius. Yah, kelihatannya cukup mudah.

"Kalau gitu Ibu pamit ya, Nak." Bu Amal meninggalkan warteg setelah Arhan mengangguk. Sepertinya ia akan menghadiri acara penting, terlihat dari pakaiannya yang rapi dan super modis.

Hari ini, Arhan akan menjaga warteg Bu Amal. Tidak begitu sulit, dia hanya harus membungkus makanan sesuai porsi, dan memastikan makanan dalam keadaan hangat. Warteg Bu Amal sangat ramai di pagi hari, sepertinya Warteg Bu Amal memang sudah terkenal. Pantas saja dia tetap membuka wartegnya walaupun sedang ada acara.

"Loh, Bu Amal-nya mana, Dek?"

"Mas karyawan baru di sini?"

"Kamu anaknya Bu Amal, ya?"

"Kok bukan Bu Amal yang jaga?"

"Bapak suaminya Bu Amal?"

Berbagai pertanyaan terlontar dari para pelanggan warteg Bu Amal. Sepertinya mereka belum mengenal Bu Amal dengan baik. Terlihat dari pertanyaan mereka menebak kalau Arhan adalah keluarganya Bu Amal. Yang membuat Arhan kaget adalah pertanyaan bapak-bapak yang mengatakan bahwa Arhan adalah suami Bu Amal, apa pantas Arhan yang masih muda disebut suami? Arhan hampir saja tertawa mendengar pertanyaan bapak itu, tapi dia hanya bisa tersenyum dan menjawab seadanya sebagai bentuk kesopanan.

Entah mengapa waktu terasa begitu lambat, ada yang mengganjal di pikiran Arhan saat ini. Seperti ada sesuatu yang Arhan lupakan.

Waktu menunjukkan pukul 09.30, sudah tiga setengah jam Arhan berada di sini. Tapi, Arhan masih belum mengetahui penyebab hatinya resah.

Seorang wanita paruh baya memasuki Warteg Bu Amal bersama anaknya yang terlihat masih kecil, sepertinya seumuran Darel. "Bu--Eh ... Mas, Bu Amal ke mana?"

"Lagi ada acara, Bu. Hari ini saya menggantikan Bu Amal di sini," jawab Arhan berusaha sopan.

"Owalah!" Wanita paruh baya itu mengangguk-anggukan kepala.

"Mau makan apa, Bu?"

"Saya beli lauk aja, Mas. Ayam tiga, tempe lima ribu, sama tumis kangkung lima ribu juga," ucap wanita paruh baya itu sambil menunjuk bergantian lauk pauk yang diucapkan.

"Di bungkus kan, ya?" tanya Arhan yang langsung diangguki wanita itu.

Arhan memasukkan tempe ke dalam plastik bening berukuran sedang, dilanjutkan dengan kangkung kemudian ayam sesuai pesanan. "Anaknya baru pulang sekolah, Bu?" tanya Arhan basa-basi.

"Iya nih, Mas. Hari pertama masuk TK."

Arhan tahu, Arhan tahu apa yang mengganjal pikirannya. Harusnya hari ini adalah hari pertama adik laki-lakinya masuk taman kanak-kanak. Bisa-bisanya ia melupakan hal penting.

ARHAN || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang