12. Ke Rumah Naila

51 8 12
                                    

Kini, Caca, Darel, Kamila, juga Vivi--anak perempuan yang Caca jumpai sebelumnya--sedang makan bersama. Makanan yang Caca beli untuk dua porsi, lebih dari cukup untuk dimakan oleh empat anak kecil.

Bertemu dengan Vivi, menggetarkan hatinya. Bagaimana tidak? Anak seusia Vivi--yang ternyata hanya satu tahun di lebih tua Darel dan Kamila--menerima dengan lapang dada kehidupannya yang pahit. Dengan  keadaannya yang tak dapat melihat, dia mau berusaha mencari ibunya yang hilang tanpa ada tangis. Hanya dibantu dengan tongkat untuk meraba jalan. Dia kuat, dia ikhlas menerima takdirnya, dia hebat. Cobaan hidup yang Caca alami, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan  cobaan hidup Vivi. Maka, Caca juga harus kuat.

Tepat setelah makanan habis, pintu ruang rawat itu terbuka. Menampilkan sosok wanita cantik berhijab merah di sana.

"Kak Nailaa!" Darel dan Kamila berseru kompak.

Naila mendekati Darel yang juga mendekatinya. "Kakak kamu gak papa, 'kan?" ujar Naila berjongkok, menyetarakan tingginya dengan Darel.

Darel terlihat terdiam, membuat tangan Naila memegang lembut pundaknya.

"Kata kak Caca, kak Arhan gak papa, Kak," ujar Darel kemudian dengan lirih. Caca yang mendengar, merasa hatinya meluruh, sakit.

Naila mengelus pucuk kepalaa Darel lembut. "Bener, Kak Arhan pasti baik-baik aja. Darel harus semangat dong."

"Kak Naila mau apa ke sini?" tanya Kamila, ikut mendekati Naila dan Darel.

"Mau ngeliat keadaan Kalian, juga kak Arhan." Senyuman di wajah Naila memancarkan aura positif

"Kakak tau dari mana Kak Arhan dirawat?" tanya Caca yang juga bergabung bersama tiga orang lainnya. Pasalnya, saat Naila ke sini, ia langsung menanyakan kondisi Arhan.

"Kakak tau dari TV."

"Kok bisa?" sahut Darel bertanya.

"Kecelakaan kemarin itu disiarin di TV, Kakak liat kakak kamu yang dibawa masuk ke ambulans, juga supir truk yang ditabrak motor Arhan. Kakak langsung ke rumah sakit ini, menebak kalau kakak kamu dibawa ke sini. Untungnya benar." ujar Naila menatap ke arah Darel.

"Kak Arhan masuk TV? Aku ada juga gak?" tanya Darel lagi, suasana hatinya sudah lebih baik, begitu pun juga dengan Caca dan Kamila, walau Kamila masih demam.

Naila tersenyum ke arah Darel, menatap matanya dalam. "Ada. Kalian ada di TV," lirihnya. 'Dengan tangisan menyakitkan,' lanjutnya dalam hati. 

"Seriuss, Kak?" Naila mengangguk mantap.

"Kalo mau, kalian bisa tinggal di rumah Kakak sementara. Gimana?" tawar Naila menghentikan suasana ceria Darel juga Kamila.

"Terus kak Arhan gimana?" tanya Darel polos.

"Kak Arhan biar Kakak yang urus, mau?"

"Bener, Kak? Gak ngerepotin?" Caca ikut bertanya.

"Gak dong, gak papa." Naila menatap manik Caca dalam, penuh rasa kagum. Anak seusia Caca sudah berpikir sangat dewasa.

"Eh, kalo yang Cantik ini siapa?" Naila berganti menatap anak perempuan yang terlihat asing.

Merasa terpanggil, gadis kecil itu tersenyum manis. "Aku Vivi, Kak," ujarnya lembut, dengan bola mata yang entah mengarah ke mana.

"Namamu cantik banget, sama kayak orangnya, cantik."

"Makasih, Kak," ujar Vivi lembut.

"Mau pulang ke rumah Kakak sekarang?" Naila bertanya.

"Besok aja, Kak. Kita sekarang mau nemenin Kak Arhan," jawab Caca.

ARHAN || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang