24. Amarah Rasya

57 6 6
                                    

Happy Reading

Suasana makan malam yang hening kembali terjadi, sama seperti kemarin. Bahkan kali ini lebih hening, tanpa obrolan random Darel dan Kamila.

Entah mengapa mereka terdiam, seperti sesuatu yang besar akan terjadi.

"Darel ngantuk," ucap Darel memecah keheningan.

"Ya udah, ke kamar, gih," suruh Arhan  lembut.

"Ayo, Kak," ajak Darel Yang sudah bangkit dari kursinya. Arhan ikut bangkit, memenuhi ajakan Darel.

"Kak Caca, ke kamar juga, yuk. Kak Vivi, yuk," ajak Kamila pada kedua kakak tak sedarah itu.

Seketika meja makan kosong, menyisakan Hellen yang tersenyum licik di sana. Ya, jelas sekali rencananya berhasil. Makanan yang dihidangkan sudah diberi obat tidur olehnya. Dan kini, ia tinggal menjalankan aksinya.

Ketampanan wajah Arhan membuatnya gila. Mata birunya yang indah, dengan bulu mata yang lentik. Alis tipis bercampur dengan wajah putih berseri. Hidung yang mancung terpahat indah di wajahnya. Benar-benar definisi wajah yang sempurna.

Hellen perlahan masuk ke kamar Arhan dan Darel. Terlihat Darel yang sudah tertidur pulas, berbaring sendiri di atas kasur. Lain dengan Arhan, yang duduk di sofa dengan mata yang terpejam.

"Arhan," panggil Hellen berbisik di telinga Arhan, tapi tak digubris sama sekali. Arhan masih tenang dengan posisi duduknya.

Hellen dengan tidak takutnya mengguncangkan bahu Arhan, memanggil namanya berkali-kali.

Berhasil, mata biru Arhan terbuka.

"Astaghfirullah." Perkataan pertama yang keluar dari mulut Arhan saat membuka mata.

"Ada apa, Tante?" ucap Arhan kemudian dengan suara serak yang menghanyutkan Hellen.

"Kamu masih punya hutang sama Kakak...," bisik Hellen centil di telinga Arhan.

"Hutang apa?"

"Syarat."

"Syarat?"

Arhan berusaha mengingat hutang apa yang dimaksud Hellen. Dan saat ingatannya pulih, ia membulatkan matanya. "Apa, syarat apa?" tanya Arhan setelahnya.

"Ikut, Kakak," lirihnya, pergi meninggalkan Arhan.

Dengan rasa kantuk yang masih terasa, Arhan mengikuti langkah Hellen lemas. Ia menaiki tangga dengan perlahan. Matanya mengerjap-ngerjap, berusaha untuk tetap sadar sepenuhnya.

Hellen memasuki kamarnya, diikuti Arhan yang sedikit ragu. Saat Arhan masuk, Hellen menutup pintu kamarnya.

"Haruskah di dalam kamar?" tanya Arhan lemas.

"Iya, karena syaratnya, kamu harus tidur seranjang bersama Kakak."

Arhan memelototkan matanya, mendengar penuturan Hellen.

"Astaghfirullah. Maaf, Tante, itu gak boleh. Tante, ada perasaan suami yang harus dijaga. Ada Tuhan Yang Maha Mengetahui."

"Ayolah, hanya malam ini.... Ingat saya sudah membebaskan adikmu. Kamu punya hutang sama saya!"

"Tapi gak begini, Tante." Arhan segera kembali menuju pintu, berniat pergi. Sayangnya, pintu terkunci, membuat Arhan kembali berbalik.

"Mana kuncinya, Tante?!"

"Gak akan saya kasih! Kalo kamu gak mau tidur di ranjang bersama saya, terserah!"

Hellen menuju kasurnya, berbaring sambil tersenyum licik. Pikirnya, Arhan akan segera tertidur, karena telah memakan makanan yang tercampur obat tidur. Ia mungkin bisa beraksi setelah Arhan tertidur.

ARHAN || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang