30 | the alarm

15.1K 1.3K 97
                                    

Shalitta pernah baca artikel yang mengatakan bahwa manusia bisa merasa lebih tenang jika mereka berada di dekat air. Ketika mereka mendengarkan gemericik aliran air, emosi seseorang bisa mereda.

Hal itulah yang saat ini sedang Shalitta coba lakukan. Ia berusaha menenangkan segala macam emosi yang menggeliat liar di dadanya dengan fokus ke suara air yang mengalir dari tebing air mancur mini tak jauh darinya. Tatapannya pun lurus menatap riak air kolam renang yang tertiup angin pelan-pelan.

Namun tempat dimana saat ini ia bisa mendapatkan semua ini saja bahkan membawa pikirannya semakin tidak bisa tenang. Segala macam pertanyaan bermunculan dan ia tak tahu apakah ia membutuhkan jawaban.

"Jangan ngelamun. Nanti kerasukan."

Shalitta tak menoleh sama sekali meski Malik kini telah bergabung, duduk di sebelah kirinya. Bahu Malik menyenggol bahu Shalitta pelan, mencoba menyadarkan wanita itu dari lamunan.

Saat ini Shalitta berada di teras belakang rumah Malik. Entah apa alasannya, setelah menariknya menjauh dari Idham, Malik malah membawanya pulang ke rumah laki-laki itu.

Shalitta mendadak teringat akan sesuatu.

"Kenapa kamu kaya gitu?" tanya Shalitta tanpa mengalihkan pandangannya dari riak-riak kecil kolam renang.

Malik mengernyit bingung. "Maksudnya? Gitu gimana?"

"Ikut campur urusan aku sama Idham." terang Shalitta pada akhirnya.

Malik tertegun, sebelum kemudian ia menghela nafas panjang dan menghembuskannya seraya mengalihkan pandangan.

"Idham emang pikir kalau kamu pacar aku. Tapi itu kan asumsi dia aja. Kamu bukan pacar aku beneran. Jadi nggak seharusnya kamu ikut campur kaya tadi, kan?" imbuh Shalitta sambil menatap Malik dengan tatapan datar.

Malik terdiam. Raut wajahnya tak dapat ditebak.

"Jangan kaya gitu lagi, Lik."

Tak langsung ada sahutan dari Malik. Namun beberapa saat kemudian, Malik menghembuskan napas panjang. "Aku nggak suka kamu nyalahin diri kamu sendiri lagi."

Mata Shalitta bertemu dengan mata Malik yang menatapnya dengan lekat dan telak.

"Emang salah aku, kan? Masa perasaanku bertepuk sebelah tangan, aku nyalahin Idham?" dahi Shalitta berkerut.

"Nggak semua hal di dunia ini—yang jalannya nggak sesuai harapan—itu berarti ada yang salah," ucap Malik serius. "Kalau perasaan kamu sama Idham nggak sama, bukan berarti juga kamu atau dia yang salah. Bukan kamu yang nggak cukup baik. Berhenti ngerendahin diri sendiri, bisa nggak sih?"

Shalitta terdiam. Tatapannya terpaku ke dalam sorot mata Malik yang ternyata lebih menenangkan daripada aliran air.

"Itu semua cuma perbedaan ekspektasi dan hal itu wajar," lanjut Malik. "Kamu tuh harus ubah deh cara pandang kamu terhadap diri sendiri. Fokus untuk jadi apa yang kamu mau, bukan untuk memenuhi standar orang lain."

Shalitta merasa tertampar. Ia melengos karena tak mampu menatap Malik lebih lama. Lelaki itu seperti menelanjangi pikirannya dan membuatnya kehilangan muka.

Sudah berkali-kali rasanya Malik mengatakan hal demikian, tapi prakteknya, Shalitta tetap tak lakukan. Ucapan Malik seperti masuk kuping kiri lalu keluar kuping kanan.

"Kenapa susah banget buat nerima diri sendiri, sih, Ta?" suara Malik melembut. "Kekurangan kamu, tuh, nggak banyak. Kamu kurang bisa menghargai diri kamu sendiri. Cuma itu."

Mata Shalitta mulai menghangat.

Beberapa hal terlintas di kepalanya. Mungkin di antaranya adalah bagaimana ia merasa tak pernah mendapatkan apresiasi atas dirinya yang apa adanya. Lalu ia mulai berusaha lebih giat untuk membuat orang lain bangga, berusaha mandiri dan melepas predikat anak manja yang diberikan semua orang karena ia terlahir sebagai anak tunggal. Namun pada akhirnya, tetap saja ia selalu dianggap tak bisa apa-apa.

Shalitta ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang