Shalitta A. Latief km dmn? Temenin mkn mau gak? Mls makan sendirian
Shalitta yang sedang berbaring miring di sofa apartemennya menatap pesan yang sudah ia kirim sejak satu jam yang lalu itu. Tidak ada sama sekali balasan dari Malik. Begitu pun dengan pesannya dua jam yang lalu. Dibaca pun tidak.
Tiba-tiba Shalitta merasa ngilu di seluruh tubuhnya. Rasa-rasanya ada ribuan pisau menusuk-nusuk tangan, kaki, kepala, hingga dadanya.
Selama sisa liburan semester genap, Malik mendadak berubah. Ia jarang menghubungi Shalitta dan sering menghilang. Bahkan hingga dua minggu mereka sudah memasuki semester ganjil, Malik masih terlihat enggan berhubungan dengan Shalitta.
Sesekali laki-laki itu masih menghampiri Shalitta ke apartemen. Tapi intensitasnya sudah berkurang sangat drastis. Ia hanya akan datang sebentar, peluk-peluk Shalitta tanpa banyak bicara lalu mengajak tidur bersama.
Shalitta menuruti saja kemauannya. Ia merasa senang setiap Malik datang. Tapi setiap ia terbangun dan Malik sudah tidak ada di sebelahnya, Shalitta tak dapat menahan kekecewaan.
Malik memang masih menghubunginya sesekali. Tapi pria itu benar-benar sulit untuk dihubungi jika Shalitta yang duluan mencari.
Shalitta tidak mengerti. Apa yang salah pada dirinya? Dirinya tak menuntut apa-apa. Kenapa tiba-tiba Malik menghindarinya? Apa laki-laki itu sudah mulai bosan?
Air matanya tiba-tiba menitik. Sial!
Shalitta mengusapnya dengan punggung tangan lalu membenamkan wajahnya di sofa. Kedua tangannya memeluk dirinya dan seketika ia merasakan nyeri yang luar biasa di sekujur tubuhnya.
Shalitta benci perasaan seperti ini.
Ketakutan.
Selama ini Malik sudah terasa lebih dari teman.
Bukan. Bukan kekasih. Tapi bagi Shalitta—yang paling penting—Malik adalah seorang teman baik. Jika Shalitta boleh memberikannya predikat lebih, ia akan berkata bahwa Malik memerankan peran sebagai sahabat yang jauh lebih baik daripada Idham.
Ia bisa bercerita apa saja pada Malik. Ia bisa berkeluh kesah pada Malik tanpa sekalipun dihakimi. Setiap kesedihan yang Shalitta bagi akan Malik terima dengan baik. Laki-laki itu bahkan tak segan menghiburnya hingga akhirnya dirinya bisa menertawakan kesedihannya sendiri atau bahkan langsung kembali ceria lagi.
Bersama Malik, Shalitta merasa punya teman. Bersama Malik, Shalitta tak pernah kesepian.
Jika Malik berubah, Shalitta akan kehilangan seorang teman baik dan hal itu menakutkan.
Ia akan kembali merasa sendirian.
Namun tak lama Shalitta tertawa miris saat perlahan ia sadar.
Mungkin Malik tidak berubah. Tapi ekspektasi dirinya terhadap Malik yang berubah. Padahal jelas-jelas memang seharusnya seperti ini hubungan antara Malik dan dirinya. Ya, kan?
***
Shalitta yakin, weekend ini, ia tak punya janji dengan siapa-siapa. Bahkan Malik sekalipun. Laki-laki itu masih hilang-hilangan. Lagipula Malik punya kunci jadi tak mungkin ia mengetuk pintu seperti ini.
Jadi, Shalitta bingung. Siapa yang bertamu di jam 10 pagi hari Sabtu begini?
Dengan kantuk masih memayungi kelopak matanya, ia beranjak bangun. Tangannya mengambil sebuah outer satin untuk dikenakan. Ia merapatkan outer tersebut untuk menutupi bagian depan tubuhnya karena kini ia hanya mengenakan satu set lace camisole satin dan hot pants yang ia gunakan untuk tidur. Berpikiran mungkin itu tetangga, atau satpam, yang hanya bertamu sebentar, Shalitta tidak repot-repot merapikan dirinya. Apalagi mengenakan branya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shalitta ✔️
Romance[Bukabotol #2] Shalitta bermain api karena dia pikir hatinya sudah mati. Namun ternyata ia salah kali ini. Seharusnya ia tidak melakukan permainan ini karena ternyata hati nya masih berfungsi. *** Ketika hati dan kepercayaan dirinya benar-benar diha...