"Kemana Iqbal?" Felix yang tengah merapikan merapikan kembali kotak bekalnya bertanya pada Janu yang kebetulan juga sedang menyantap ayam gepreknya yang dibelinya barusan.
Tidak seperti Iqbal yang sedang mendapat banyak tawaran dan promosi karena baru saja masuk dunia detektif, detektif tingkat spesial seperti mereka ini tidak akan mendapat adwal sepadat itu. Tentu saja karena kasus yang akan mereka tangani jauh lebih rumit dan dengan bayaran yang jauh lebih tinggi.
"Tugas kayanya ke daerah Depok" Janu menjawab sambil menangis, wajahnya penuh peluh karena lidahnya terbakar.
Felix yang melihat si pipi gembul yang sedikit kesal karena air putih di botolnya habis dengan penuh inisiatif mengambil sekotak susu dari kulkas kecil di pojok ruangan.
"Bareng Sagara?" Felix memberikan sekotak susu strawberry-nya, sudah menancapkan sedotannya karena tau Janu terlihat sangat menyedihkan.
"Sagara mah sama Liam, agak berat kasusnya. Iqbal pencurian kayanya, makannya sendiri" Janu menyedot susunya terburu-buru. "Udah gede Lix, tenang aja. Pasti bisa itu ana monyet"
Felix tanggapi ucapan Janu dengan tawa. Memang sih, untuk detektif junior seperti Iqbal, diperbolehkan bekerja sendiri sudah termasuk prestasi yang sangat membanggakan karena kebanyakan detektif seumurannya akan diminta menjadi asisten yang kerjaannya hanya mengurus laporan saja.
"Lain kali jangan makan beginian lagi" Felix menepuk-nepuk punggung Janu, yang dinasehati cemberut, mulutnya yang penuh dengan makanan itu ia paksa untuk berbicara.
"Dih enak Fel, nih coba" Janu menyodorkan sendoknya.
Felix menggeleng ketika melihat banyaknya cabai yang terlihat. Yang lebih kecil memilih untuk terus menepuk punggung Janu. Manusia itu lucu, semakin dilarang maka akan semakin nekat.
Tidak berselang lama, Felix yang tengah menepuk punggung Janu dikagetkan dengan seorang staff yang masuk dengan mendobrak pintu. Janu tersedak keras sekali, Felix meringis melihat keadaan temannya yang sangat tidak baik-baik saja. Tersedak makanan pedas adalah next level of pain man.
"Permisi, detektif Felix. Ada anak kecil yang tersesat disini. Apa perlu kita hubungi kantor polisi? Boss Hakim tidak bisa-"
"BISA GAK, LO MASUK KETOK PINTU DULU?" Janu menggebrak mejanya, membuat staff di sebrangnya terlonjak kaget.
"Maaf detektif Janu, saya panik" Staff tersebut menunduk, menyesali perbuatannya.
"Tidak perlu ke kantor polisi, kita saja yang umumkan" Felix mengambil identity card sekaligus access card dan mengalungkannya di lehernya. Mencomot satu kotak susu yang ada di kulkas dan berpamitan pada kedua orang yang tersisa di ruangan.
"Eh mau kemana lo? Duduk disini" Janu menunjuk staff yang sudah terlihat pucat pasi.
Felix segera menuju ke bawah, meninggalkan Janu yang tengah menatap tajam staff yang malang itu. Dalam hati berdoa supaya staff itu tidak sampai menangis apalagi mengundurkan diri karena Janu.
Langkahnya diperlebar, berusaha secepat mungkin untuk menemui anak hilang itu. Memorinya terputar ulang, ia tidak mau dan tidak akan membiarkan anak kecil sedih apalagi tersesat. Salahkan pikirannya yang malah terbang kembali pada masa lalu, saat Chris sendirian dan kesepian.
Tidak akan ada lagi Chris lain. Felix sudah berjanji.
"Detektif!" Seorang staff lain menghampiri Felix, menunjuk ke arah ruang tunggu. Oh, Hakim sudah ada disini.
"Anak itu tidak berhenti menangis walau boss Hakim sudah berusaha. Makannya kita panggilkan detektif Felix" Staff itu berjalan di belakang Felix.
KAMU SEDANG MEMBACA
indigo « chanlix » ✓
Fiksi PenggemarTentang seorang detektif bernama Felix Janardana yang selalu dibantu oleh Chris, teman dari dunia lain Felix. Read the tags before reading! tw; mention of blood, murders, psychopath behavior, traumatic past, a lil bit mature.