Take 05 - Breakthrough

10.5K 1.1K 6
                                    

"Gimana? Beres?" Pertanyaan Valdo menyambut Agni begitu ia menjejakkan kaki ke ruangan.

Perempuan itu mendengkus dan membanting proposal ke meja. Valdo pun memilih diam. Tak ada yang berani menanyai Agni lebih lanjut. Mereka sudah paham lewat raut wajah yang perempuan itu pancarkan. Mungkin, kalau divisualisasikan kepala Agni mengeluarkan asap tebal dan dari kepalanya muncul tanduk.

Agni menatap proposal program acaranya yang ditolak hari ini. Damn it! Usia boleh muda, tapi pikirannya kolot, seperti seseorang yang lahir pada tahun lima puluhan. Ia menghempaskan tubuh ke kursi, menyandarkan punggungnya dan memejamkan mata. Bayangan mengikat sang atasan di tengah rel kereta terbesit di kepala.

"Kita lembur lagi nih, Mbak?" Cicitan suara Amel memecah keheningan. Ia duduk bersama Valdo di meja rapat dengan bungkus keripik kentang terbuka di hadapannya.

Agni membuka mata perlahan dan mendecakkan lidah. "Tuangin semua ide program acara terdrama yang ada di kepala kalian. Kita turuti mau Pak Raki apa."

Para pegawai di ruangan itu membelalakkan mata. "Y-yakin, Mbak?" tukas Nathan tak yakin. Lelaki itu dengan kernyitan di dahi, mengintip ke arah kubikel Agni, dari kursinya.

"Agni! Lo kenapa tinggalin gue, sih?" Rengekan Audy terdengar bersamaan dengan suara terbuka menampakkan gadis yang mengenakan celana kulot putih dan blouse off-shoulder kuning. "Pak Raki bilang---"

"Lo bisa nggak, jangan sebut nama dia dulu," potong Agni dengan lirikan tajam.

Audy menghela napas lalu berjalan ke mejanya yang berada di sebelah sang bos. Ia lalu menarik kursi dan mendaratkan pantat di sana. "Slot itu masih punya kita, Ni. Pak Raki minta kita revisi programnya lagi. Dia serius, mau kita yang isi slot acara habis 'Love Call'". Meskipun disuguhi dengan ekspresi kecut, Audy memberanikan diri membuka suara. Menurutnya, penawaran Pak Raki terlalu bagus untuk dilewatkan. Slot prime time, setelah hampir satu tahun setengah tidak pernah dapat itu.

"Serius lo?" sahut Valdo kembali menyuapkan keripik ke dalam mulut.

Audy mengangguk. "Kita revisi lagi ya, Ni? Kayaknya Pak Raki udah suka sama konsep acara musiknya." Ia melirik ke rekannya yang masih memasang raut wajah tak bersahabat.

Bagi Agni, tentu penolakan ini bukan yang pertama kali ia dapat dari Raki. Akan tetapi, masih sama menjengkelkannya seperti kali pertama. Jika ingin dapat slot prime time pengganti 'Love Call', ia dan timnya harus bergegas. Mereka tidak punya banyak waktu. Tiga bulan bukanlah waktu ideal untuk merancang sebuah program acara. Belum lagi jika ada sesuatu di luar rencana terjadi. Dalam artian, timnya harus siap kerja rodi.

"Hari ini gue nggak bisa lembur. Sore harus cabut karena ada acara," tukas Agni, "Sekarang gue tanya, kalian pengin banget dapat slot itu?"

Satu ruangan mengangguk kompak.

"Kalian pengin dapat rating and share tinggi?" Perempuan itu menatap satu per satu rekan kerjanya. Hanya Valdo yang menganggukkan kepala, selebihnya membeku seperti patung. "Udah, jawab aja, jujur-jujuran."

Meskipun dengan ragu-ragu dan pandangan takut-takut mereka pun mengangguk.

Oke, harusnya Agni sadar. Anggota satu timnya pasti menginginkan program acara mereka meraih rating dan share tinggi. Pencapaian terbesar sebagai produser dan para kru di balik sebuah acara, apalagi kalau bukan rating dan share program tinggi, acara ditonton banyak orang, jadi bahan obrolan di mana-mana, menarik banyak sponsor, dan dapat pundi-pundi rupiah dari bonus perusahaan. Dia terlalu naif. Akan tetapi, harusnya mereka tahu, bergabung dengannya itu berarti bersiap merelakan impian tersebut.

Pertanyaannya adalah, apakah Agni harus mengalah demi kebahagiaan mereka untuk dapat slot prime time, atau tetap berpegang kuat pada prinsip yang ia pegang?

Love SicktuationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang