Take 12 - Rock the Stage

8.6K 1.1K 40
                                    

Kabar mengenai "Rock The Stage" sudah menyebar sampai ke telinga produser lain. Banyak yang memberi Agni selamat, tapi banyak juga yang menanyakan keputusan Raki mengapa memberi jatah prime time untuk program acara wanita itu. Padahal, jelas-jelas rating acara yang diproduseri Agni selalu rendah.

"Makan siang dulu, jangan pada ngambis lo. Proposal juga udah beres. Kita tinggal tunggu konfirmasi para talent doang, kan?" celetuk Valdo di jam makan siang.

"Iya, Bang. Kurang Kaivan doang, nih. Lainnya udah pada approve kok," jawab Amel yang bertugas menghubungi para talent. Kali ini, tim Agni tidak membutuhkan unit talent untuk mencari para pemain di acara mereka.

"Bu produser, makan lo. Sebelum pingsan," dengkus Valdo saat melihat bosnya masih saja fokus dengan layar monitor.

"Wait a minute. Kalian duluan aja, deh."

Lelaki berambut cepak itu melirik Audy, mengirimkan kode yang perempuan itu pahami. Sang asisten lalu berdiri dari kursinya menarik tubuh Agni. "Lo nggak bakal makan, gue tahu itu. Yuk!"

"Tapi—"

"Tenang, Mbak Agni. Tempat kita juga udah dapet. Proposal udah masuk ke unit sponsorship. Malah gue dapat kabar dari Petra udah ada beberapa sponsor yang mengajukan," tukas Nathan.

"Gue belum dapat floor director," tandas Agni. "Pada on job semua."

"Pasti dapet nanti," pungkas Audy seraya terus menarik tubuh Agni menuju pintu, "kalau nggak dapat, kita lapor Pak Raki. Dia bakal bantu. Acara prime time diprioritaskan, tenang aja."

Agni hanya bisa menghela napas, setelah diseret keluar ruangan. Bisa-bisanya mereka bersekongkol membawa dirinya ke kantin! Kurang ajar. Runtutan sumpah serapah yang hampir ia lontarkan, terhenti saat suara perutnya menyela. Ia memang lapar. Seperti rombongan sirkus, keenam anak manusia itu bersama-sama menuju kantin.

"Pesenin gue sate taichan sama lontong. Minum air es aja," pinta Agni pada Valdo, "gue malas antre. Lo kan yang maksa gue ke sini."

Lelaki yang lebih tua tiga tahun itu terkekeh pelan. "Iya, bawel lo," kemudian berjalan ke arah stoll pedagang sate taichan.

Di saat teman-temannya berhamburan memesan makanan, ia menjaga meja agar tak jadi hak milik orang lain. Maklum, jam makan siang begini kantin sedang ramai-ramainya. Inilah alasan mengapa Agni sangat malas ke kantin untuk makan siang. Lebih baik mengganjal perut dengan segelas kopi sampai perutnya berbunyi kembali.

"Tumben makan siang di kantin." Sebuah suara yang Agni kenal membuatnya mendongak kepala. Tentu bukan Raki. Lelaki itu hampir tak pernah menginjakkan kaki kemari.

"Kebetulan laper," jawabnya singkat, malas meladeni perempuan yang jadi rival abadinya di sini.

"Selamat ya, akhirnya lo dapat jatah prime time. Ya, walaupun gue nggak yakin kenapa harus lo, padahal banyak produser lain yang acaranya punya rating lebih tinggi dari lo."

Agni mendengkus pelan. "Thank you. Sekarang lo bisa cari tempat duduk deh, gue males ngobrol sama lo, Din."

Dinda mendecakkan lidah. "Jangan besar kepala. Bisa jadi ini acara prime time pertama dan terakhir lo," kata perempuan berambut cokelat terang itu, dengan seringai meremehkan lalu meninggalkan meja.

Untungnya, para rekan kerja Agni segera kembali ke meja dengan makan siang mereka masing-masing, sebelum banyak produser lain yang menghampiri mejanya hanya untuk menumpahkan sepotong pikiran mereka. She doesn't care what they think. Tim Agni dengan formasi lengkap keluar saat jam makan siang adalah pemandangan mencolok, karena wanita itu tak pernah makan tepat waktu. Pukul dua sampai tiga sore adalah jam ideal untuknya mengisi perut.

Love SicktuationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang