Proposal program baru sudah di tangan. Agni dan Audy siap menghadap Raki dan mendengarkan pendapat lelaki 35 tahun itu. Kalau sampai ditolak, sepertinya akan ada stiletto melayang. Agni dan timnya sudah lembur seminggu penuh, pulang pagi, riset sana sini, enak saja kalau dihempaskan begitu saja. Perempuan itu mendongakkan dagu, membusungkan dada, memupuk rasa percaya diri sebelum menghadap sang atasan.
"Siap, Dy?" Agni melirik rekan kerjanya. Kedua perempuan itu bertukar pandang lalu mengangguk bersama.
"Harus siap," balas Audy menipiskan bibir.
Agni melenggang dengan percaya diri menuju ruangan sang atasan. Blouse merah marun dan celana jeans biru pudar melekat sempurna di tubuh dan kaki jenjangnya. Seperti biasa, rambut hitam legam sepunggungnya diikat rendah. Ketika Agni dan Audy melewati meja Mahda, sekretaris Raki, wanita itu langsung berdiri dari kursinya.
"Eh, tunggu---"
"Udah bikin janji," potong Agni dengan tatapan tajam ke arah perempuan berkemeja abu-abu dengan rok span hitam, yang berada di balik meja itu.
"Kok nggak ada di catatan gue?" tanya Mahda dengan alis bertaut.
"Tapi, Pak Raki ada kan di dalem?" timpal Audy sembari mengulas senyum tipis. Setelah memahami bagaimana watak rekan kerjanya, selain membantu Agni menjalankan program acara, ia juga bertugas untuk mencairkan suasana. Ia harus pandai beramah-tamah pada siapa pun lawan bicara Agni, agar mereka tak tersinggung dengan kejudesan atau sikap dingin perempuan itu.
"Ada, sih."
"Ya, udah. Nggak usah dipermasalahin," tukas Agni lalu kembali melangkah menuju pintu ruangan lelaki 35 tahun itu. Dia ingat betul, Rabu minggu lalu Raki memberinya titah untuk membuat proposal dalam waktu seminggu. Tujuh hari kemudian, di hari Selasa, ia kembali datang membawa yang lelaki itu tunggu. Jadi, tidak ada masalah. Mahda saja yang suka ambil pusing.
"Duluan ya, Mbak," pamit Audy menyusul Agni yang sudah masuk lebih dulu.
Suara nyaring high heels beradu dengan lantai membuat Raki menoleh ke arah Agni, bahkan sebelum perempuan itu mengucap salam. "Pagi Pak, saya bawa proposal program yang Bapak minta," tuturnya dengan suara rendah.
Lelaki yang memakai kaus slim fit yang mencetak jelas otot-otot di baliknya dan celana training hitam, menghampiri Agni dan Audy. "Silakan duduk. Berkenan menunggu saya bersih-bersih sebentar?" Dilihat dari rambutnya yang basah dan wajah dipenuhi keringat, sepertinya Raki baru saja kembali dari gym yang ada di lantai delapan.
"Silakan, Pak," Audy menyahut.
Sedangkan Agni mendecakkan lidah, meskipun lalu mengangguk dengan enggan.
Kedua perempuan itu pun menuju sofa dan mendaratkan pantat di sana. Sudah tidak terhitung berapa kali Agni memasuki ruangan ini. Ruangan Raki adalah ruangan paling keren, stylish, nyaman yang pernah ia masuki selama bekerja di KBC TV. Jika saja, perempuan itu tidak perlu adu mulut atau menahan emosi setiap datang kemari, mungkin saja ia akan betah berlama-lama di sini.
Jendela lebar yang menampilkan pemandangan gedung pencakar langit dan padatnya jalanan ibukota. Satu set sofa abu tua super empuk dan nyaman berbahan beludru. Pewangi ruangan perpaduan bunga-bunga segar dan aroma hutan yang selalu menenangkan. Belum lagi jajanan yang selalu tersedia di toples-toples kecil di meja. Kali ini ada nastar, macaron dan sagu keju. Agni menggeleng pelan melihat menu snack hari ini, terlalu banyak gula.
"Aduh, gue ngiler sama makaronnya," celetuk Audy menatap kue warna warni menggemaskan itu.
"Ya, udah, ambil."
"Malu gue."
"Ditaruh di meja itu buat tamu, Dy." Agni mencondongkan tubuh untuk mengambil setoples makaron dan memasukkan ke tas cangklong Audy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Sicktuation
Romance[Secret Love Series | 1] Namanya Agni, baru 27 tahun tapi kisah hidupnya udah nano-nano. Julukannya cewek grumpy yang nggak pernah senyum dan hobinya marah-marah. Sebagai produser muda, cita-citanya hapus acara sampah penuh drama di televisi. Tapi s...