17. Slowly, Surely (2)

2 0 0
                                    

Orang-orang benar, 'don't judge book by the cover' katanya.

Itu yang Dania rasakan.

Beberapa hari mengenal seseorang, tak membuat kita tau semua tentang orang itu, tentu saja. Menghadapi beberapa situasi bersamanya, juga tak membuat kita tau lebih banyak hingga ke akar-akarnya. Tapi jika makin banyak mengobrol, maka perlahan semua ketidaktahuan itu akan terkikis.

Andaru ini contohnya.

Jika tidak mengobrol, mana tau kalau ternyata dia orang yang se-cerewet ini?

Di depan teras rumah, bersama segelas es teh manis dan pisang goreng, Dania mengobrolkan banyak hal bersama Andaru. Ah bukan mengobrol sebenarnya, lebih ke Dania yang mendengarkan segala ucapan Andaru.

Entah itu jelas atau tidak, bisa Dania pahami atau tidak, bisa terhubung dengan pikiran Dania atau tidak.

Semuanya tetap Dania dengarkan.

Mulanya, Andaru menceritakan tentang pensi sekolah. Dania juga nggak tau jabatan Andaru di sekolah itu apa sampai-sampai dia tau banyak mengenai acara pensi yang akan dilaksanakan sebulan mendatang. Dari mulai konsep, gagasan atau ide yang muncul selama perencanaan, sampai tujuan pensi itu diadakan. Andaru bisa menjelaskan semuanya.

Dania sih iya-iya aja, sambil sesekali meminum es tehnya karena entah kenapa malah dia yang merasa haus ketika mendengarkan Andaru bicara panjang lebar.

Sampai akhirnya cowok itu membicarakan hal yang sama persis dengan Seila di sekolah tadi. Salah satu pengisi acara pensi, ah si Abila Abila itu punya keluhan mengenai instrumen musik yang akan dipakai saat tampil nanti. Penjelasannya sama seperti Seila, Andaru bilang Abila ingin bernyanyi diiringi gitar, bukan piano. Namun yang berbeda, kali ini penjelasannya lebih mendetail, Andaru memberikan alasan kenapa hal-hal tersebut bisa terjadi.

"Jadi Abila emang maunya kayak gitu?" Dania mencoba merespon kata-kata Andaru berdasarkan simpulannya.

"Iya. Setelah gue perhatiin, Abila tuh... Gimana ya? Orangnya totalitas. Jadi kalau ada sesuatu yang bikin nggak nyaman, pasti dia nggak ragu buat bilang dan langsung maunya problem solved aja, nggak peduli gimana orang-orang disekitarnya berusaha. Ya selain karena wataknya begitu, tapi itu mempengaruhi performa dia sebagai penampil," jelas Andaru menceritakan apa yang ia tau tentang Abila beberapa waktu belakangan ini.

Dania mencerna kalimat itu dengan dahi yang berkerut bingung. Ah, lagi-lagi Andaru bicara terlalu banyak. Jadi dia butuh beberapa saat untuk mengerti inti dari kalimat Andaru.

"Terus si pengiring pianonya itu gimana?" tanya Dania teringat masih ada orang lain yang terlibat.

"Ah, iya. Dia juga wataknya sama kayak Abila, agak susah dibilangin. Nanti coba gue ngomong pelan-pelan ke dia," balas Andaru terlihat tenang.

"Sebelum orang baru terlibat, harusnya lo konfirmasi yang bener dulu."

"Gue tanya sekali lagi. Emang lo beneran mau gantiin?"

"Nggak juga."

"Terus kenapa bilang gitu ke gue?"

"Saran aja."

Andaru berdecih mendengar itu, "Kayaknya diri lo sendiri yang butuh saran," cibirnya kesal. Dari sudut pandang Andaru, dia pun tau jika gadis ini selalu terlihat 'kosong'. Bukankah seharusnya sosok yang seperti itu yang perlu diberi saran?

Tapi sebenarnya Andaru tak terlalu memusingkan hal itu...

Setidaknya untuk saat ini.

"Btw, tadi kenapa lo teriak pas di telpon?" tanya Andaru tiba-tiba teringat suara melengking Dania yang masih terngiang di telinganya kala bertelepon tadi.

NumbTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang