16. Slowly, Surely

10 0 0
                                    

"Hah? Dania main gitar?" Dery mengernyit heran setelah mendengar apa yang dikatakan cowok jangkung di depannya barusan. Meski tak yakin, tapi kenapa bisa ada sesuatu yang lebih orang lain tau tentang Adiknya dibandingkan dirinya sendiri? Dery benar-benar bingung.

"Eh bentar, ini Daru yang waktu itu nunggu bubaran arisan bareng gue dibawah pohon mangga kan ya? Udah berapa bulan sih? Gue agak lupa," tanya Dery memastikan sebelum mengobrol terlalu jauh, karena sudah lupa-lupa ingat.

Barusan, dia dipanggil keluar karena katanya Andaru--anak dari Tante Nadwa yang Dery kenal sebagai teman arisan Mama itu mencarinya. Walau belum tau dicari karena apa, tapi Dery tetap pergi menemuinya sebab waktu itu dia pernah melalui masa-masa sulit bersama Andaru.

Maksudnya menunggu Mama mereka selesai arisan.

Kala itu, semua hal terasa menyebalkan. Dery dan Andaru benar-benar tak habis pikir dengan pemikiran Mama-mama yang sebegitu rumitnya. Tidak, maksud mereka, kenapa harus minta jemput kalau ternyata acaranya masih belum selesai? Mending kalau rumah yang ketempatan arisan itu dekat dan mereka bisa pulang dulu alih-alih menunggu. Tapi dibalik semua hal menyebalkan itu, untung saja mereka bertemu. Jadi selama menunggu, mereka tidak sekesal jika menunggu sendirian. Apalagi Dery yang selalu punya topik pembicaraan, pelan-pelan Andaru juga jadi terbiasa menanggapi dan nyambung begitu saja.

"Iya, itu sekitar tiga bulan yang lalu. Sehabisnya Mama sakit, jadi nggak ikut-ikut acara arisan. Terus sekarang udah sembuh langsung ngajak kesini," jelas Andaru seadanya, menjawab pertanyaan Dery barusan.

"Sakit apa Mama lo?" tanya Dery lagi sembari merangkul Andaru yang jauh lebih tinggi daripada dirinya. Cowok itu mulai melangkahkan kaki menuju suatu ruangan, membuat langkah Andaru mau tak mau ikut terbawa bersamanya.

"Kakinya bengkak, asam urat," jawab Andaru singkat.

"Ck, bandel sih lo," celetuk Dery iseng.

"Apa hubungannya Mama sakit asam urat sama gue bandel? Mama gue bukan hipertensi," Andaru sampai menghentikan langkah, menoleh sinis ke arah Dery akibat celetukan ngawur itu.

"Hahaha, iya juga," Dery melangkah lagi beberapa meter ke depan, sampai akhirnya berdiri berhadapan dengan sebuah pintu, "Ayo, lo ngapain masih disana?" ujarnya melihat Andaru masih belum mendekat bahkan sampai Dery sudah mencoba untuk mengetuk-ngetuk pintu di depannya.

"Mau kemana?" tanya Andaru bingung. Bagaimana dia mau ikut kalau belum tau akan dibawa kemana?

"Kita grebek kamar Dania," Dery menunjuk pintu coklat itu dengan yakin, "Lo bilang dia main gitar kan tadi? Yang gue tau, dia nggak punya gitar. Dan kalaupun main, dia harusnya pinjem gitar gue. Tapi Dania nggak keluar kamar dari tadi," kata Dery menjelaskan tujuannya kepada Andaru.

"Hah? Terus gue ikut?"

"Ck, udah tenang aja. Kan sama gue. Kalau lo yang masuk sendirian, gue juga nggak bisa jamin lo bakalan masih hidup atau nggak abis ini."

"Ya lo aja lah yang suruh Dania keluar."

"Ya elahhh lo mah--" Dery tiba-tiba berhenti bicara ketika akan mengutarakan sebuah kalimat. Andaru jadi memiringkan kepala, menunggu cowok itu meneruskan kalimatnya.

"Eh, bentar deh. Kok gue goblok ya?" Dery mengumpati dirinya sendiri, dia bahkan baru tersadar hal ini setelah beberapa saat membicarakan Dania bersama Andaru, "Sejak kapan lo kenal sama Adek gue?" pertanyaan itu baru saja terlintas di pikirannya.

Andaru agak tersentak, pemuda itu melebarkan mata sesaat. Sebelum akhirnya menemukan jawaban yang pas, "Kan gue sama Dania emang satu sekolah, jurusannya juga sama. Emang aneh ya kalau kita kenal?"

NumbTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang