8. Jatuh

516 97 82
                                    

.
.
.
.
Happy Reading

♥︎nadlvrx♥︎


"Pilih semua yang kamu mau ya Rik, tenang uangnya ada di kakak." Lian bersuara setelah memilih meja dekat jendela.

"Gak lah, Riki bakal bayar sendiri." Tolak Riki seraya mendudukan diri di kursi seberang Lian.

"Gak bisa." Lian menolak juga.

"Bodo." Riki tetap kekeuh.

Tak lama pelayan datang, memberikan buku menu. Mereka berdua segera memilih hidangan yang akan jadi makan siangnya hari minggu itu. Sebelum si Pelayan pergi, Riki membisikan sesuatu padanya. "Bilangin ke semua, kalau kakak ini datang, gak perlu bayar."

"Ngebisikin apa?" Tanya Lian seperginya pelayan tadi.

"Enggak, cuma smoothie-nya jangan pake whipcream." Jawab Riki.

Lian manggut-manggut. Sesekali ia melirik ke jendela -bukan jendela karna itu terlalu besar- sesekali ia melirik pada tembok kaca yang menampilkan bentangan sungai Han. Begitu luas dan deras. Pantulan matahari tergambar menyilaukan, tak sedikit orang lalu lalang di tepi hanya untuk mencari angin.

Ah, iya juga.

Sungai ini merupakan tempat putra tercintanya meregang nyawa. Lian yang tadinya menyungging senyum akan indahnya pemandangan siang itu, langsung berubah murung.

Ia tak pantas tersenyum bahagia seperti ini jika pembunuh putranya masih berkeliaran di luar sana. Saemi tak bisa mengulur waktu, kasus pembunuhan Sangwon harus segera diselesaikan.

Riki memperhatikan struktur wajah si Kakak Kelas yang kian memuram. "Kak Ana ada trauma sama sungai ini?" Ia bertanya. Kepekaannya tinggi.

"Hah?" Lian tersadar dari lamunan, "eum, kok tau?" Lian menoleh lagi pada Riki.

Remaja berambut silver itu menghembuskan napas panjang, dan ikut melirik pada sungai. "Riki juga punya. ...kakak Riki bunuh diri di sini dua tahun lalu."

Lian sontak melebarkan mata, tertegun sejenak.

"Tapi ya, mau gimana lagi. Waktu terus berjalan 'kan? Rasanya percuma hidup kalau terus stuck di luka masa lalu. Our life and our heart-- need to be appreciated. Jalanin aja lah."

Saemi tersentuh, tuturan Riki seakan menyadarkan dirinya. Sedikit membuka secercah kesempatan, bahwa secuil kebahagiaan tak menunjukan kalau tujuan awalnya terlupakan.

Ia melirik pada adik kelasnya itu, lalu tersenyum tipis, "thanks." Tak lama Lian mengulum bibir, "eum... oh iya, kok kamu bisa tanpa ragu ngasih tau kakak?"

Riki tersenyum, "Riki percaya kak Ana."

"Percaya apaan percaya??" Seorang lelaki yang tiba-tiba saja duduk di samping Lian heboh memotong perbincangan.

Dasar, mengganggu momen saja. Lian langsung mengernyit dan menatap heran padanya, tahu dari mana ia kalau Lian ada di sini? Dan... untuk apa juga ia kemari??

"Apaan si Jay?? Mau apa kesini?"

"Kenapa? Gak boleh??"

"Ya gak lah," jawab Lian frontal.

Air muka Jay mendadak datar. Mata elang yang menciptakan aura gelap khasnya terasa menyeruak. Lian dibuat merinding, ia mengejapkan matanya gugup. "Terserah." Lian melipat tangan di depan dada dan menyandarkan punggungnya pasrah.

Jay melingkarkan lengan disepanjang pundak Lian, dan tersenyum sombong pada Riki. "Lu gausah macem-macem ya. She's mine."

Riki hanya mengangguk canggung. Jangan tanya kondisi Lian bagaimana, rasa malunya mencapai ubun-ubun, menatap Riki pun ia terlalu malu.

ABG Again ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang