"Oppa, mau sampai kapan kau terdiam seperti ini?" tanya Jin Ah pada Dong Wook yang sejak kedatangannya kemarin, belum pergi juga dari apartemennya. "Tadi pagi kudengar kau hanya mau cuti sehari. Bagaimana kalau ayahmu mencari?"
"Kau tidak suka aku terlalu lama di sini?"
"Bukan seperti itu. Kau tahu kalau aku justru senang bisa menghabiskan waktu denganmu. Tapi, kalau ayahmu tahu kau tidak bekerja hari ini, bisa-bisa aku dianggap sebagai pengaruh buruk. Di mata ayahmu, aku tidaklah spesial, ada yang mesti kukorbankan agar bisa bersamamu."
"Apa yang kau korbankan?"
""Aku ... aku sebenarnya dihantui rasa bersalah karena jahat pada So Eun."
"Kenapa bisa merasa bersalah, bukankah kau tidak benar-benar berteman dengannya?"
"Memang benar aku mendekatinya dengan maksud tertentu, aku bersikap manis padanya untuk memuluskan rencanaku yang ingin kenal lalu dekat denganmu dan juga agar diterima dengan tangan terbuka oleh ayahmu. Tapi, ada waktu-waktu yang kami habiskan bersama sebagai teman, So Eun pun selalu baik padaku. Aku menjadi serakah saat terbuka kesempatan untukku bisa bersamamu lengkap dengan restu ayahmu. Karena itulah aku dengan tega menyudahi pertolongan pada So Eun sesuai perintah ayahmu. Saat tak sengaja bertemu di kafe, aku berkata ketus. Lalu aku mengunjunginya lagi, dengan intonasi ketus juga aku mengatakan mau memborong roti sebagai permintaan maaf. Sebenarnya itu permintaan maaf yang tulus," papar Jin Ah.
"Jin Ah, kenapa kita harus hidup seperti ini?"
"Apa maksudmu?"
"Menahan keinginan."
"Oppa, hidupmu tampak sempurna untuk mengatakan hal seperti itu."
"Tapi benar adanya. Aku sudah lama menyukaimu, Jin Ah."
"Eh, b-benarkah?"
"Kau terkejut?"
"Oppa tidak pernah terlihat seperti menyukaiku."
"Karena ayahku." Dong Wook menghela napas. "Kau benar, tak ada yang spesial tentangmu di matanya. Aku pernah lihat dan dengar sendiri penilaian ayahku terhadap keluargamu. Setelah kehilangan ibuku, hanya ayahku yang tersisa. Aku jadi sangat bergantung padanya dan takut ditinggalkan. Apalagi melihat sikap dinginnya pada So Eun, rasanya tak akan sanggup jika diperlakukan seperti itu. Aku pun berusaha semaksimal mungkin untuk patuh dan membuatnya bangga."
"Dong Wook Oppa..."
"Pergaulan di lingkaran dalam pun, tetap banyak kemunafikan. Kami mesti mencitrakan keluarga yang penuh kasih sayang. Kau pasti percaya betapa kami keluarga harmonis, 'kan? Ayahku orangtua tunggal yang berhasil."
"Aku paham soal pergaulan. Terlalu banyak senyum palsu dan pura-pura peduli. Oppa, apa menurutmu, So Eun hebat karena berani meninggalkan rumah dan semua kemewahan?"
"Dia nekat."
"Apakah kau memikirkan bagaimana hidupnya setelah keluar dari rumah? Apalagi setelah tidak tinggal lagi di tempatku."
"Aku pernah tak sengaja bertemu dengannya. Duduk di taman, ditangannya ada sebotol minuman. Air matanya mengalir dan aku spontan mau menyekanya. Bagaimanapun kau adikku, itu yang kukatakan padanya. Huf, kurasa aku memang peduli dan mengkhawatirkannya."
"Itu menjelaskan kenapa kau memintaku untuk merahasiakan dulu dari ayahmu perihal So Eun yang bekerja di kafe."
"Tanpa kusadari, aku mengulur waktu. Di samping lega karena ternyata ada pekerjaan yang dilakukannya."
"Padahal kata-katamu cukup kasar waktu bertemu dengannya di kafe."
"Itu memang kemarahanku padanya, aku memang memendam kemarahan padanya. Tapi kalimat selanjutnya mengandung kebohongan. Aku melarangnya pergi, demi dirinya sendiri. Hanya saja, aku tak sanggup mengatakannya. Perasaan yang saling bertentangan."
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Broke Up [Completed]
FanficSeharusnya semua selesai setelah putus. Tetapi sebuah situasi mendesak So Eun untuk melanggar ucapannya sendiri dan ini sangat mengganggu Myung Soo yang sudah berusaha mati-matian mengenyahkan gadis itu dari dalam hatinya.