So Eun masih bergeming sementara tangan Ju Hwan berayun menanti tanggapan serupa.
"Sial, apa saja yang dikatakan Oppa pada Ju Hwan?""So Eun-ssi, apa kau tak berpikir kalau tanganku ini pegal?"
"Kalau pegal, turunkanlah. Aku tak berminat menanggapi," timpal So Eun yang masih menyilangkan kedua tangannya di dada.
"Kau masih saja bersikap dingin seperti sebelumnya. Tapi, baiklah, aku tak akan mempersoalkan itu." Ju Hwan menyudahi juluran tangannya yang hanya mendapatkan pengabaian dari So Eun.
"Aku menolak perjodohan," tegas So Eun.
"Bukan itu yang kudengar."
"Memangnya apa yang kau dengar? Tadi itu ucapan langsung yang kau dengar dariku."
"Aku paham kau terkejut karena itu mari pelan-pelan saja menyikapi hal tersebut sambil kita saling mengenal."
"Minggir, bus sudah datang."
"Wah, kau bahkan naik bus? Aku tak menyangka setotal itu dirimu menjalani kehidupan jelata."
"Apa-apaan kau ini terus menyebut jelata? Ohya, aku jelata sekarang, jadi pergilah. Jangan mendekatiku!"
"Kau tampak semakin menarik." Ju Hwan mengekor So Eun.
"Jangan mengikutiku!"
Ju Hwan mundur. "Oke, pelan-pelan saja. Sampai jumpa."
"Sampai jumpa apanya," omel So Eun lalu menghempas tubuhnya di kursi penumpang. "Oppa sungguh berada di pihak Abeoji. Aku harus cari cara untuk melawan."
Kekesalan So Eun tertahan, ia tak bisa pergi kemanapun selain pulang ke rumah Myung Soo. Uang yang pas-pasan memang sangat menyulitkannya. Tiba di rumah, ia langsung mandi berharap pikirannya bisa segar namun tetap saja kedongkolan masih bercokol.
So Eun coba memejamkan mata, tapi rasa kantuknya entah ada di mana. Alhasil, ia belum juga bisa terlelap. Malahan berguling kesana kemari membuat alas tidurnya berantakan.
"Aku harus melakukan sesuatu agar energi marah ini tersalurkan." So Eun bangun, ia menyasar dapur.
Kelengkapan bahan makanan dan alat masak yang tertata di dapur kerap menggoda hasrat So Eun untuk memasak, karena itulah sejak awal meski belum dapat izin, ia tak pernah berpikir panjang dulu ketika mau memasak.
Setelah menelisik isi kulkas juga lemari bahan makanan kering, So Eun akhirnya memutuskan untuk membuat keik. Bukan karena lapar, tapi butuh melakukan sesuatu untuk melampiaskan energi marahnya yang masih menyelubungi.Dengan semangat So Eun menyiapkan bahan dan alat. Keik yang akan dibuatnya membutuhkan telur yang dikocok hingga mengembang putih namun alih-alih menggunakan mixer, So Eun memilih untuk mengocok manual menggunakan whisk agar betul-betul total meluapkan kekesalannya.
Suara wadah yang beradu dengan whisk di tengah malam sunyi, jelas merupakan kebisingan. So Eun menyadari itu karenanya ia tak terkejut ketika akhirnya mendengar suara Myung Soo, saat itu ada sekitar lima belas menit sejak dirinya mulai mengocok telur.
"Kau tahu jam berapa ini?"
So Eun menoleh pada Myung Soo. "Tahu," jawabnya datar.
"Tahu tapi tetap saja menciptakan kebisingan?"
"Apa kau pernah merasa butuh melakukan sesuatu sebagai pelampiasan? Itu yang kulakukan sekarang." So Eun menimpali di tengah fokusnya yang tercurah pada kegiatan mengocok telur.
"Rasanya aku baru saja tidur tapi terbangun karena suara berisik dari dapur. Kau pikir berapa jarak dari dapur ke kamarku, huh? Ini bukan istana!"
"Maaf, tapi aku tidak bisa tidur."
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Broke Up [Completed]
FanfictionSeharusnya semua selesai setelah putus. Tetapi sebuah situasi mendesak So Eun untuk melanggar ucapannya sendiri dan ini sangat mengganggu Myung Soo yang sudah berusaha mati-matian mengenyahkan gadis itu dari dalam hatinya.