Darah segar mengalir dari hidung Myung Soo, namun tak serta merta meredakan kemarahan Dong Wook, bahkan ia tarik kemeja pria itu. "Berani sekali kau." Mata Dong Wook berkilat, satu tangannya siap melayang lagi.
Myung Soo tidak membalas, hanya mendorong Dong Wook sebagai usahanya untuk melepaskan diri. "Lepaskan."
"Kau pikir dirimu siapa? Dan apakah kau tahu sedang berhadapan dengan siapa?"
"Tentu aku tahu. Aku berhadapan dengan seseorang dari keluarga terhormat, dengan pendidikan tinggi tentunya punya etika yang sangat terjaga pula."
"Sialan kau, Kim Myung Soo!"
"Kalian mencitrakan diri sebagai keluarga harmonis penuh kasih sayang dan ramah terhadap publik. Terutama setelah ayahmu ikut dalam pencalonan walikota."
"Sialan kau, Kim Myung Soo!" Dong Wook mengulang ucapannya, kali ini dengan teriakan frustrasi. Kemudian, dilepaskannya cengkraman sembari meneruskan umpatan.
"Kau semarah itu padaku? Atas dasar apa? Aku mengambil adikmu yang berharga? Dia berharga karena kau sangat menyayanginya atau dia berharga demi kelangsungan perusahaan dan karir politik ayahmu?"
"Diam kau!" Myung Soo sungguh tak diduga membuatnya begitu mendidih.
"Aku tak akan diam. Apa salah So Eun pada kalian? Apa dia minta dilahirkan? Apa dia memaksa untuk hadir ke dunia ini walau mengorbankan ibunya?"
Frustrasi dan kemarahan Dong Wook pun memuncak. "Sudah kubilang untuk diam. Kau tak punya hak untuk mengkritik apa yang terjadi pada keluarga kami," ucapnya sembari memukuli Myung Soo bertubi-tubi. "Kau tak tahu bagaimana rasanya luka seorang anak kecil yang ditinggal pergi oleh ibu yang sangat dicintainya!" Dong Wook terengah-engah, peluh dan air mata berbaur di pipinya. Setelah itu, ia duduk terkulai.
"Sudah berapa umurmu sekarang? Bagaimana bisa tetap terjebak dengan pemikiran masa kecilmu."
"Kau seperti tidak mengerti dengan yang namanya takdir. Kenapa tidak sekalian saja menyalahkan Tuhan? Atau kau tidak percaya pada Tuhan?" Sambung Myung Soo.
Dong Wook masih diam. Seiring bertambah usia, sebenarnya ia paham kalau kepergian ibunya bukanlah salah So Eun. Namun, entah kenapa seperti ada dinding belenggu yang tinggi serta tebal sebagai sekat tak berkesudahan antara dirinya dan So Eun. Ditambah lagi, Dong Wook melihat sang ayah yang terpuruk karena kehilangan istri sampai-sampai tak sanggup menerima kehadiran putrinya sendiri. Bahkan, lontaran ayahnya soal tak mengharapkan anak lagi karena kesehatan istrinya lebih penting, pernah didengarnya. Dan itu menjadi pembenaran baginya untuk sama-sama tidak menerima kehadiran So Eun. Dong Wook tak pernah meminta atau menginginkan adik, ia hanya ingin ibunya terus ada di sisinya. Dong Wook dan ayahnya pun melalui hari selanjutnya dengan memelihara luka, yang dilampiaskan pada So Eun.
"Aku tahu siapa yang kuhadapi sekarang. Tapi, aku percaya orang terhormat seperti kalian tidak akan melakukan hal kotor untuk menyingkirkan orang kecil sepertiku. Kalian orang-orang terhormat, 'kan?"
Dong Wook paham kalau Myung Soo sedang sarkas padanya, tapi ia masih saja diam.
"Tapi, mungkin saja aku salah. Kalian punya uang dan kekuasaan. Setidaknya, aku mesti bersiap. Aku akan ke rumah sakit untuk visum. Kurasa kamera dasborku juga merekam perbuatanmu tadi."
Mendengar itu, barulah Dong Wook bersuara lagi. "Kenapa tidak melawan? Apa sengaja agar bisa menuntutku?"
"Tidak juga. Aku hanya merasa kasihan padamu. Mungkin pukulan demi pukulan yang kau layangkan itu bisa meluapkan rasa frustrasimu. Sekarang, sudahi kebencian tak berdasar itu. Aku yakin jauh dalam lubuk hatimu, kau peduli pada So Eun."
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Broke Up [Completed]
FanfictionSeharusnya semua selesai setelah putus. Tetapi sebuah situasi mendesak So Eun untuk melanggar ucapannya sendiri dan ini sangat mengganggu Myung Soo yang sudah berusaha mati-matian mengenyahkan gadis itu dari dalam hatinya.