Chapter 35

55.6K 7.2K 239
                                    

'Zahra itu, seperti bom waktu'

****


Bermodalkan alamat yang diberikan oleh Kalila —Mama Raden, Zahra nekat pergi mencari keberadaan pengasuhnya dulu.

Karena semua keluarganya enggan membuka suara tentang Ayah kandungnya, Zahra memilih jalan pintas. Mencari keberadaan pengasuhnya, sendirian. Ia tidak pulang dua hari belakangan, berdiam diri di rumahnya tidak ingin menemui siapapun. Panggilan telepon dan  puluhan pesan dari keluarga dan sahabatnya ia abaikan, bahkan ia sengaja mematikan semua akses agar Zelda tidak bisa melacak keberadaannya saat ini.

Dan sekarang, Zahra berdiri di depan gapura yang bertuliskan 'selamat datang', ia tiba di sebuah desa terpencil dengan akses jalan yang cukup sulit untuk ditempuh. Tidak ada aspal, yang ada hanya tanah bebatuan yang akan menjadi genangan lumpur jika terkena hujan, dan akan menerbangkan debu ketika kemarau datang.

Menurut alamat yang diberikan Kalila, pengasuhnya pernah mengatakan kalau ia tinggal di desa itu. Tapi sekarang Kalila tidak tau, apakah Sera —pengasuhnya masih di sana atau sudah pindah.

Menurut informasi terakhir, Sera tidak lagi bekerja dikediaman Mahardika ketika Zahra dipindahkan ke luar Negri, dan memilih menikah, sampai sekarang tidak ada yang tau dengan siapa Sera menikah. Bahkan pak Agus —supir pribadi Brata yang merupakan tetangga Sera dulu tidak mengetahui keberadaan perempuan itu.

Bermodalkan tekad, Zahra melangkah melewati rumah sederhana yang memiliki jarak cukup jauh satu sama lain. Suasana di sana masih sangat asri dan sejuk. Penduduk di sana terbilang ramah, saat melihat Zahra mereka tersenyum sopan.

"Permisi," Zahra menghentikan langkahnya di sebuah rumah, halamannya terdapat sebuah serambi dan beberapa orang duduk berkelompok di sana.

"Iya? Ada yang bisa dibantu, Mbak?" tanya salah satu dari mereka ramah.

"Numpang tanya, rumah kepala desa di sini di mana, ya?"

"Masih jauh, Mbak." jawabnya. Desa itu memang tidak bisa dikatakan kecil, jika berjalan lebih dalam, maka rumah penduduk terlihat sedikit lebih padat.

"Adi!" panggil salah satu wanita berambut panjang, seorang anak kecil datang.

"Kembeq, inak?" (ada apa, Ibu?)

"Atong to balen tuaq Kades, becat." (antar kakak ini ke rumah Pak Kades, cepat)

"Nggih!" anak kecil bernama Adi itu berjalan duluan bersama tiga orang temannya.

*fyi, bahasa di atas itu bahasa Sasak. Bahasa Sasak berbeda-beda setiap daerahnya, jadi kalau ada orang Lombok yang merasa aneh atau gimana sama kalimatnya, mohon dimaklumi. Saya bukan orang Lombok, tapi paham dengan bahasa mereka.

"Mbak, ikut mereka. Nanti diantar ke rumah Pak Kades,"

"Terima kasih, Pak, Buk. Saya permisi," pamit Zahra menunduk sopan, mengikuti keempat anak kecil yang asik berceloteh menggunakan bahasa daerah di sana.

"Kakak dari kota, ya?" tanya anak perempuan yang ikut mengantar Zahra tadi.

Zahra mengangguk dengan senyum tipisnya.

"Wah, pasti di kota seru!" sahut yang lainnya girang.

"Di sini juga seru," balas Zahra. Sekitar dua puluh menit berjalan kaki menyusuri jalan bebatuan dan melewati kebun dan sawah, mereka tiba di perkampungan yang cukup padat penduduk.

Double Z [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang