Chapter 51

61.2K 8.4K 573
                                    

'Terlalu asik di Prolog, tanpa sadar kisah kita berada di Epilog tanpa ada Isi dari kisah itu'

****

"Maaf sebelumnya, bukankah anda berasal dari keluarga serba berkecukupan? Rasanya bukan hal yang sulit untuk anda mencapai semua ini," dibanding sebuah pertanyaan, itu adalah sebuah pernyataan yang membuat ego Zahra sedikit tersentil.

Saat ini, ia sedang berada di sebuah acara, Zahra diundang sebagai salah satu pengisi acara untuk memberikan motivasi bagi para pelajar dari tingkat menengah atas sampai anak kuliahan.

Zahra yang berdiri di atas podium dengan sebuah micro-phone yang berada di dekat susut bibirnya.

Banyak yang hadir, bahkan semua kursi yang tersedia terisi penuh. Zahra menatap orang-orang di hadapannya dengan senyum kecil.

"Sebelum itu, gue mau cerita tentang masa kecil dan silsilah dari keturunan keluarga gue," jelas Zahra. Ia memang memakai kosa kata lo-gue, supaya lebih enak. Berhubung yang berada dihadapannya adalah anak remaja, jadi ia ingin berbicara lebih santai dengan mereka.

"Gue lahir di keluarga Mahardika, cucu pertama dari anak pertama. Mungkin dengar nama Mahardika, kalian akan bayangin kehidupan gue terlahir dengan sendok emas ditangan, atau semua keinginan gue terpenuhi hanya dengan mengeluarkan permintaan. Nyatanya semua itu hanya bayangan kalian aja.

Semuanya jauh dari kemewahan dan kesempurnaan keluarga. Gue punya saudari kembar, seiras. Dia terlahir sedikit berbeda dari gue, dengan fisik lemah dan harus bolak balik rumah sakit hampir setiap hari, bahkan gue sendiri jarang banget liat dia ada di rumah.

Waktu itu, umur gue sekitar delapan tahun, baru masuk sekolah dasar. Bokap nyokap sibuk sama kembaran gue yang sakit, jujur di situ gue iri sama dia. Sampai pernah terpikir untuk jadi kayak dia, sakit-sakitan.

Tapi kalau dipikir lagi, gue nggak suka rumah sakit karena bau obat-obatan. Jadi, gue cari jalan lain supaya dapat perhatian dari orang tua gue," Zahra sedikit terkekeh ketika mengatakan kalimat itu.

"Gue memilih jadi tukang buli. Terdengar aneh sih, anak seusia gue harus jadi calon kriminal. Jadi, gue sama ketiga sahabat gue suka gangguin anak-anak, bahkan rampas kotak bekal mereka. Suka malak uang jajan mereka, bahkan pernah suatu ketika, dengan tangan gue sendiri, gue jahatin orang sampai dia nggak berani masuk sekolah lagi. Akhirnya, dengan semua kelakuan gue yang nggak kayak anak pada umumnya, bokap gue ngasingin gue.

Tempatnya jauh banget, ke China. Gue ngerasa orang tua gue bener-bener ngebuang gue, udah nggak sayang gue lagi, mereka lebih sayang saudari gue.

Singkat cerita, gue yang biasanya hidup mewah, semua kebutuhan langsung tersedia, semua perintah langsung terlaksana, pokoknya kehidupan gue yang layaknya seorang putri berubah drastis.

Bokap gue nitipin gue ke orang kepercayaannya. Tapi yang jadi permasalahannya, kehidupan di sana berbeda 180 derajat sama kehidupan gue yang di sini. Listrik nyala cuma dua kali seminggu, gue nggak tau kenapa bisa gitu. Tempatnya pedalaman banget, sejauh mata gue memandang itu pohon pinus yang nyeremin semua. Nggak ada pemandian air hangat, nggak ada pelayan, nggak ada tempat bermain dan segala hal yang biasanya zaman modern sediain. Gue ngerasa, balik ke zaman nenek moyang gue.

Jarak sekolah dari pedesaan itu cukup jauh, dan gue harus jalan kaki untuk sampai di sana. Masih mending kalau nggak ketemu binatang liar kayak Babi hutan, atau Serigala yang suka keluar pas salju turun.

Satu bulan tinggal di sana gue bener-bener frustasi, setiap tengah malam gue terbangun karena suara-suara aneh dari hutan pohon pinus, jujur gue penakut banget.

Double Z [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang