6. Makna

931 102 3
                                    

Jalanan masih basah, sebagian aspal berlubang bahkan masih tergenang air setelah hujan sejak dini hari mengguyur kota Bandung. Awan kelabu menemani perjalanan Senja di salah satu Universitas kebanggaan Bandung, ITB. Melihat secara langsung bagaimana luas dan asrinya calon kampus terutama fakultas tempat ia akan melanjutkan jenjang pendidikannya.

Hari ini adalah hari terakhir pendaftaran dan mengurus segala syarat-syarat yang diperlukan. Banyak calon maba yang juga bergerumul di beberapa titik wilayah hanya sekedar untuk saling mengobrol atau melempar candaan tak penting. Senja, sang manusia introvert satu ini merasa dia berada di wilayah yang salah, pasalnya dimana dia sendiri tanpa pasangan mengobrol adalah suatu tontonan yang menarik, apalagi dengan visualnya yang banyak mengundang lirikan perempuan.

Langkah kakiknya membawanya ke sebuah cafetaria dengan beberapa bangku panjang yang terpisah. Senja mengecek hasil jepretannya beberapa saat tadi. Anak itu tidak pernah lupa membawa kameranya saat bepergian, sekedar untuk teman jalan katanya. Boleh dibilang miris karena bahkan pasangan bepergianpun tidak ada. Anta selalu disibukan dengan urusan kantor, dan ayahnya bahkan jarang pulang sekedar untuk menanyakan kabar atau makan bersama. Tapi, karna kebiasaan itulah yang menjadikannya mandiri.

Masih ingat dengan jelas bagaimaan beberapa tahun yang lalu ia bahkan enggan untuk keluar kamar. Mengurung dirinya sendiri dalam ruangan kosong dan gelap. Membisukan suara yang terus mencoba masuk kedalam kepalanya. Membutakan arah yang coba menuntunnya. Perjuangan yang panjang nan sulit. Kamera adalah salah satu terapi psikis yang membantu dalam banyak hal bagi Senja.

"Iya kak udah selesai, ini mau makan habis itu pulang"

Seorang gadis duduk disebelah meja Senja, kebetulan Senja duduk di ujung meja. Gadis itu masih sibuk mengurus banyak peralatan yang ia bawa, mulai dari beberapa dokumen, tas-tas karton juga sebuah canvas. Keributan itu sama sekali tidak mengundang atensi si lelaki bermata Amber hinga sebuah kuas lukis jatuh menggelinding tepat di samping kaki Senja.

Senja melihat kebawah merasa ada sesuatu yang menabrak pelan kakinya, tepat saat itu tangan sang gadis berambut sebahu itu memungut kuasnya.

"Ah maaf, barang-barangku terlalu banyak jadi ganggu kamu". Katanya masih menunduk.

Senja diam, memperhatikan si gadis yang masih bergelut dengan barang bawaannya sendiri.

"Ada yang bisa kubantu?" Senja menawarkan diri, menyimpan kameranya ke dalam tas.

"Oh enggak, nggak usah. Aku bisa atasi ini hehe" Gadis itu tersenyum dengan sedikit tertawa kecil, menertawakan betapa malunya dirinya sendiri. Sedangkan tangannya sibuk merapikan segala alat lukisnya yang berserakan dan segera memasukannya ke dalam tas karton.

Senja memperhatikan kanvas ukuran 1meter x 0,5 meter yang tertutup kertas karton yang gadis itu bawa. "Ini punya kamu?". Tanyanya memastikan.

Gadis itu menoleh, melihat arah tunjuk tangan sang laki-laki di hadapannya. Owh, lukisan yang baru selesai ia buat ternyata.

"Iya, aku baru saja menyelesaikannya"

"Owh, kamu mahasiswa sini?"

"Iya, semester pertama. Emm, nama aku Luna. Nama kamu siapa?"

Gadis itu mengulurkan tangannya dengan senyum indah yang menghiasi wajahnya.

"Senja, calon Maba minggu depan"

Senja menjabat tangan sang gadis yang bernama Luna dengan senyuman yang tak kalah indah.

"Kamu suka foto? Dari tadi aku liat kamu sibuk sama kameramu"

Senja tertawa kecil. Seakan pertanyaan itu adalah candaan yang menarik.

"Enggak. Bukan hanya suka, tapi lewat potret yang aku abadikan hal itu bisa menjadi obat penyembuh psikologi yang sangat bermanfaat tapi murah" Katanya diselingi tawa yang entah malah terdengar merdu namun juga terdapat kesedihan didalamnya.

Senja Sang Angkasa (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang