18. Langit Malam Jl.Braga

614 100 103
                                    

Dikediaman Langit, Astrid tengah menyiapkan beberapa hidangan dimeja makan. Istri dari Sang Langit itu ingin bertemu dan menanyakan banyak hal kepada anak dari almarhum sahabatnya. Lukapun yang sangat excited dengan hal itu. Ia dan Senja sudah sangat akrab sejak terakhir kali mereka berkeliling kampus Senja. Iya, Luka akan melanjutkan study-nya di Bandung.

"Sini Ma, biar Luka bantu bawain ke meja."

Luka mengambil alih satu mangkuk berisi sup yang masih mengepulkan uap panas dari tangan Astrid.

"Luka..."

"Iya?"

Luka menatap Mamanya yang tengah berdiri terdiam di ujung meja makan. Seakan ada hal yang ingin ia katakan tapi begitu sulot untuk di ucapkan.

"Emm... Papa kamu ada nelfon kamu beberapa hari ini?"

Astrid bertanya ragu, pasalnya sang suami tidak memberi kabar selama beberapa hari ini. Tidak, Astrid tidak khawatir Langit selingkuh, karna laki-laki itu bahkan dulu terpaksa menikah dengannya karna hubungan relasi kerja antara kedua belah pihak keluarga. Langit yang ambisius terhadap pekerjaan dengan berat hati mengiyakannya, ia berfikir bahwa mungkin tidak ada salahnya menikah dan mendapatkan keturunan untuk meneruskan usahanya. Bukan karna cinta. Bahkan ia ragu, sang suami memiliki rasa cinta dihatinya.

Luka menatap Mamanya bingung. "Enggak, Papa nggak ngabarin Mama kapan dia akan pulang?"

Astrid hanya menggeleng dengan lesu, hal itu membuat Luka geram hingga tak terasa tangannya telah meremat kursi dengan kuat hingga buku-buku jarinya memutih.

"Laki-laki itu! Maunya dia apa sih? Kita selalu nurutin kemauan dia tapi nggak ada timbal balik yang kita dapat. He just wanna take Mom, not give!"

"No, Luka... Bagaimanapun dia Papa kamu."

"Mama baik, kenapa orang sebaik Mama harus Papa manfaatin?"

Luka menunduk sedih, matanya memanas menahan air matanya yang tidak boleh jatuh didepan sang Mama.

"Mama... Tidak sebaik yang kamu kira, Nak."

"Hahhh udah ah sedihnya. Aku mau nelfon Senja biar cepet kesini. Pinjem ponsel Mama ya? Punyaku jatuh dari balkon kemarin hehe."

"Astagaaaaa Luka, kamu harus hati-hati. Untung bukan kamu yang jatuh."

"Ih kok Mama ngomong gitu? Jahat."

Luka pura-pura mengusap matanya yang kering. Astrid yang mulai lelah melihat sifat anak semata wayangnya hanya menghela nafas lalu mengulurkan ponselnya, membuat sang anak girang.

"SENJA!!!"

"Udah jam berapa nih? Cepetan kesini, nggak tahu apa kalo best friendmu ini kangen?"

Tidak ada balasan dari balik telephone. Luka mengernyitkan dahinya. Apa Senja tidak mengenali suaranya?

"Hallo Senja? Ini aku Luka. Ponselku mati, aku pakai punya Mama. Hari ini jadi kerumahkan?"

"Owh anaknya Langit ya? Senja lagi nggak bisa jawab panggilan, nanti Om bilang ke anaknya ya."

Luka terdiam. Ia tidak asing dengan suara ini. Bumi Angkasa.

"Ah i-iya Om. Kalo gitu aku tutup ya Om. Maaf ganggu waktunya."

Luka antara sungkan juga takut, apalagi lebih terkejut saat yang mengangkat panggilannya adalah Sang Bumi. Orang yang selalu membuat Ayahnya naik pitam bahkan jika Bumi hanya berdiam diri dikursi kerjanya.

"Iya."



***



"Hai Senja? Lama nggak keliatan. Kamu nggak ikut tim fotografi kemarin ke Jalan Braga ya?"

Senja Sang Angkasa (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang