Lagi-lagi senja termenung di bawah pohon mangga tempat kedua kelinci putihnya dikebumikan. Pikirannya melayang jauh ke masa dimana ia sering menemani kakeknya melukis di galeri seni miliknya sendiri. Terdapat ruangan kusus di lantai dua bangunan bergaya rumah pohon yang di desain dengan sangat teliti oleh kakek juga teman terpercayanya yang seorang arsitek handal.
Dulu saat sang bunda masih ada, sepasang kakak beradik Angkasa itu akan dengan senang hati ikut sang bunda mengunjungi kakek dan neneknya.
Mengunjungi toko roti sang nenek dan memakan banyak roti dengan dalih mencicipi. Lalu ikut sang kakek pergi ke studio galerinya dengan pepohonan pinus di sekitarnya.
Tempat dimana Senja merasa tenang dan nyaman. Berbeda dengan kakaknya yang lebih menyukai laut, Senja memilih bangunan kecil berbahan kayu yang dapat ia tempati diantara pepohonan dekat kota.
Suara daun yang bergesekan karna terpaan angin, atau ranting-ranting pohon yang melambai dengan pelan membuat hati Senja menghangat. Dinginnya suasana atau jaket yang harus melekat ditubuhnya tak menjadikan si bungsu Angkasa terganggu. Dia menyukainya.
"Nak, nanti kalau sudah besar mau jadi apa?"
Waktu itu kakeknya sedang melihat cucu kecilnya bermain dengan beberapa warna dan kanvas yang ia warnai menggunakan tangannya sendiri.
Kening sang anak laki-laki yang baru saja memasuki jenjang SMP itu berkerut. Menimang banyak hal yang ia sendiri tak ingin serius menanggapi. Dia masih tiga belas tahun, masih ada banyak hari untuk memikirkan hal serumit itu. Tapi Senja lupa, tidak ada yang tahu akan bagaimana masa depan mengambil alih sebagian dunianya, juga bundanya.
"Kalau Senja mau jadi kaya kakek, kakek bangga tidak?" Katanya dengan polos. Kegiatan mencoret-coret kanvasnya berhenti. Ditatapnya mata sang kakek yang masih memancarkan jiwa muda, berbanding terbalik dengan usia senjanya.
"Tidak" Jawab laki-laki berusia 65 tahun itu. Namun dengan segala kewibawaan dan kelembutan yang ia punya tangannya menyentuh rambut hitam sang cucu. Memberi usapan halus dengan senyuman yang hangat.
"Tidak ada orang tua yang ingin anaknya seperti mereka, begitupun cucu-cucunya kelak"
Senja mengamati bagaimana sang kakek menatapnya seraya mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan duduk di ukiran kursi pada potongan kayu pohon tua yang ia ukir sendiri.
"Kita tidak tahu bagaimana waktu akan berjalan nak. Kakek pernah mendengar peribahasa dari orang jawa yang mengatakan bahwa hidup itu adalah cokro manggilingan. Roda yang terus berputar. Maknanya, hidup itu kadang berada di atas namun juga di bawah. Ada masanya kita berbahagia dan tidak perlu memikirkan segala hal sulit yang pernah dan akan dilalui, tapi ada kalanya kita akan bersedih dan terpuruk ketika semua hal yang kita punya hilang dan hanya menyisakan luka."
Senja terdiam, ia merapatkan kakinya dan menurunkan bahunya. Seakan apa yang kakeknya katakan telah tercerna langsung ke otak. Ia kembali bimbang, padahal pikirannya sedang terbuka. Banyak hal yang langsung ia proses secara mendadak di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Sang Angkasa (HIATUS)
Novela JuvenilLangit senja di kota Bandung merupakan hal romantis bagi sebagian orang yang saling mencintai dan berpikir untuk saling memiliki. Berbagi rasa yang sama dan tujuan yang sejalan. Maka bagaimana jika langit itu mendung? Bagaimana jika hujan selalu tu...