14. Pelajaran

747 98 10
                                    

Tanpa diduga, sore ini sedikit mendung. Mungkin akan turun hujan nanti malam. Itu berarti Senja dan kawan-kawannya harus sesegera mungkin membagikan box makanan yang telah ditata rapi diatas mobil Esta. Iya, mereka baru tahu kalau Esta adalah kakaknya Luna. Maka seperti yang Senja katakan, bahwa Antapun ikut turun ke jalan beserta Eglo juga Venus.

Senja terpaku melihat banyaknya tunawisma yg sedang bersiap untuk menjadikan jalanan aspal sebagai tempat mereka bermalam. Hanya beralaskan kardus bekas atau hanya koran lusuh. Belum pernah sebelumnya Senja melihat pemandangan memilukan ini langsung didepan matanya. Yang ia tahu hanya saat siang mereka meminta-minta, menjual koran, mengamen dan hal-hal melelahkan lainnya yang hasilnya tidak sebanding dengan lelah mereka dibawah terik matahari ataupun derasnya hujan. Senja bersyukur atas banyak hal hari ini.

"Senja, nanti pulang bareng Kakak aja sekalian. Kamu juga jangan kecapekan"

Senja mengacungkan jempolnya. Tersenyum mengangguk ke arah sang Kakak yang kembali menurunkan beberapa box makanan.

Senja, si kembar, Bima juga Luna membagi-bagikan box makanan kepada anak-anak kecil yg duduk saling berhimpitan di depan toko kecil. Gerimis mulai turun dan anak-anak itu pasti kelelahan juga kedinginan.


***


Langit akhirnya menumpahkan muatannya setelah seharian hanya bergelung mendung tanpa sinar. Senja dan keempat temannya terpaksa meneduh di sebuah halte bus tanpa bisa berbuat apa-apa, syukurlah box makanan yang mereka bagikan telah habis.

Udara semakin dingin dan orang-orang mulai memenuhi tempat berteduh, tidak perlu merasa nyaman karna terhindar dari tetesan alam saja sudah bersyukur. Senja melihat sepasang tua renta yang berteduh di depan toko peralatan tulis dengan sebuah sepeda tua yang telah terguyur hujan desampingnya. Mendadak matanya memanas menyaksikan pemandangan itu.

"Senja!"

Tepukan dipunggungnya membuyarkan lamunan menyedihkannya.

"Kenapa sih?" Tanya gadis itu penasaran.

Luna kembali menepuk pundak Senja saat tidak ada respon dari pemuda disampingnya.

"Lihat deh Lun"

Senja menunjuk sepasang tua renta yang ia perhatikan sedari tadi.

"Mereka udah tua, tapi di tengah hujan seperti ini masih saling melengkapi?"

Mata Senja tidak bisa lepas dari pemandangan di depannya.

Luna tersenyum. "Iya, kasihan ya?"

Walau samar namun dapat ia lihat mata Senja yang berbinar diterpa lampu jalan yang mulai menyala.

Senja memperhatikan wajah Luna dan keempat temannya yang juga memeperhatikannya sesaat sebelum tersenyum kembali dengan senyuman yang sulit diartikan.

"Kenapa harus kasihan? Lihat lagi deh wajah mereka, apa mereka terlihat perlu di kasihani?"

Merekapun menolehkan kepala kembali menatap sepasang tua renta yang hanya dipisahkan jalan raya dari tempat mereka berdiri.

"Mereka bahagia, tawa mereka tidak memperlihatkan kesusahan. Justru aku merasa kasihan dengan diriku sendiri. Aku merasa kurang bersyukur atas apa yang aku miliki. Tingkat kesyukuran itu tidak dipandang dari mata orang lain, karna kita sendiri yang merasakan. Mereka yang hanya memakai sepeda butut tua untuk mencari uang yang halal masih bersyukur hanya dengan masih diberi hidup, makanpun tak harus enak yang penting makan, tidur juga tidak perlu nyaman dan hangat walau hanya bumi sebagai lantai dan langit sebagai atap. Itu yang aku lihat."

Senja Sang Angkasa (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang