Rasanya begitu berat untuk menggapai sebuah asa yang diimpikan. Entah itu faktor diri sendiri maupun orang lain. Telah berusaha, tetapi hasilnya masih belum bisa dikatakan bagus. Proses, ya, semuanya butuh proses. Akan tetapi, ia manusia biasa yang punya rasa lelah.
Bertawakal sudah senantiasa ia lakukan. Hanya kepada-Nya ia meminta pertolongan akan setiap usaha. Ia percaya, jika hari ini belum bisa memenuhi asanya, maka masih ada hati esok untuk merusaha mencapainya.
Di sepertiga malam, Anin bersujud kepada Sang Kuasa. Mengadahkan tangan, meminta petunjuk dan kemudahan agar apa yang ia harapnya dapat terlaksana dengan baik. Allah itu pembuat alur yang paling hebat. Anin percaya itu.
Jam menunjukkan pukul setengah empat pagi. Ia bersiap untuk salat subuh berjamaah. Sembari menunggu Salma dan Dita, ia hunakan waktu ktu untuk membaca ayat suci Al Quran. Surah Al Ghasyiyah menjadi pilihannya. Surah yang mengandung arti hari pembalasan
Membaca Surah Al Gasyiyah mengingatkan ia mengenai hari pembalasan. Dengan surah itu, ia merasa mendapat peringatan untuk tidak melakukann hal yang dilarang agama. Siksa di hari pembalasan tidak akan main-main, maka dari itu ia harus senantiasa berjalan ke arah
yang benar.Selesai membaca surah Al Gasyiyah, Anin mengambil air wudu dan bersiap ke masjid. Teman-temannya pun sudah bangun dari alam bawah sadar. Detelah selesai mengambil wudu, ia pun berjalan menuju masjid dengan mukena tersampir di lengannya.
"Assalamualaikum, Anin," sapa Nailaenghampiri Anin yang berjalan seorang diri.
"Waalaikumussalam, Nai. Sendirian aja, mana temen kamu?"
"Udah ke masjid duluan. Aku tadi lupa ambil tasbih, jadi balik dulu ke asrama."
"Oh, gitu. Yaudah ayo bareng, udah azan tuh."
Seorang muazin mengumandangkan azan dengan merdu. Memanggil para umat muslim untuk segera datang ke masjid guna melaksanakan salat subuh berjamaah.
Salatlah sebelum disalatkan. Salat itu kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan. Jika tidak ingin mendapat dosa besar, maka laksanakanlah salat lima waktu dengan tepat waktu pula.
Setelah muazin menyuarakan iqamah, salat pun dimulai dengan kusuk. Mencari rida Allah tidaklah mahal. Hanya dengan menaati perintahnya, tanpa bersyarat uang pun dapat terlaksana.
Usai salat berjamaah, diadakan kultum beberapa saat. Semua kusuk mendengarkan kultum dari Kiai Abdullah mengenai pentingnya menuntut ilmu.
"Kalau misal kitanya males nyari ilmu itu gimana, ya?" Suara Dita memecah keheningan di barisan paling akhir.
"Menuntut ilmu itu penting sebagai bekal kelak. Kalau misalnya kamu males menuntut ilmu, itu hak kamu. Akan tetapi, efeknya ada di masa depan nanti. Bayangin, kamu males belajar terus nilai kamu jelek semua. Gimana kalau kamu punya anak, anak kamu mau diajarin apa nantinya?" Anin menjawab dengan santai.
"Ya jangan bahas anak juga dong."
"Bukannya apa-apa, Ta. Bener kata Anin, kita belajar buat masa depan. Tentu masa depan kita juga mengenai keluarga. Emang kamu enggak mau punya anak? Kalau punya anak tentu harus punya bekal yang nantinya kita ajarkan untuk dia," jelas Salma membenarkan jawaban Anin.
"Bener juga, sih. Kalau rajin brlajar kan pasti masa depan cerah."
"Kalau menurut aku konsepnya enggak gitu. Karena apa? Karena rajin belajar aja enggak cukup untuk menjamin masa depan cerah. Perlu usaha dan tentunya atas izin Allah. Allah yang memberi alur. Tentunya Allah yang menentukan takdir kita."
"Ah iya, pa—"
"Waaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh." Ucapan Dita terpotong jawaban salam dari para sebagai penutup kultum pagi ini. Anin terkekeh melihat wajah cemberut Dita.
Para santri berbondong-bondong untuk kembali ke asrama maisng-masing dan bersiap untuk belajar. Anin menunggu masjid sepi baru keluar dari masjid. Mukenanya kembali ia sampirkan ke lengan.
Saat sampai undakan masjid, ia tidak melihat alas kakinya. Hanya ada sebelah, itu pun bukan sandalnya. Ia mengelilingi pelataran masjid untuk mencari sandalnya.
"Ya Allah, sandal swallow aja bisa dicolong, apalagi kalo pake high hels," ucap Anin ngawur.
"Mana ada orang ke masjid mau nyolong high hels."
Anin mendongak untuk melihat siapa yang bersuara. Lagi-lagi ia harus berurusan dengan Gus Rafa. Namun, kini ia tidak ada waktu untuk berdebat. Yang terpenting sekarang adalah mencari sandalnya.
"Liat sandal ana mboten, Gus?" tanya Anin to the point.
"High hels?"
"Sanes. Swallow warna hitam, Gus."
"Liat."
"Mana?" jawab Anin antusias.
"Di warung."
"Astagfirullah. Kalau enggak liat yang di sini enggak usah jawab, Gus. Permisi, asslamualaikum," pamit Anin dengan jengkel.
Anin meninggalkan Gus Rafa seorang diri di depan masjid. Lagi pula natahari sudah mulai naik, ia tidak ingin ada fitnah atau apa pun itu. Ia juga harus bersiap untuk sekolah. Maka dari itu ia memilih untuk pergi saja.
***
Terik matahari membuat Anin beberapi kali menyeka peluh yang mengakir di pelipis. Ia baru saja selesai sekolah. Kakinya melangkah menuju dapur pesantren dengan tujuan menghilangkan dahaga.
"Mai enggak mau ke pasar sendiri, Mi. Kalau ada temannya baru mau."
"Anin!"
Anin menghentikan langkahnya ketika suara seseorang memanggil namanya. Ia merotasikan pandangannya. Setelah menemukan sang pemanggil, Anin pun berjalan menghampiri.
"Ada apa, Umi?"
"Besok temani Maira ke pasar mau?"
"Mau, Mi. Anin ingin adaptasi di sini. Biar tau tempat-tempat yang ada di sin."
"Nah, tuh. Mai, tugas kamu kasih tau tempat-temoat yang ada di sini sama Anin. Biar dia tau."
"Iya Umi."
"Besok kita ke pasar, ya. Mumpung Jumat itu libur."
"Iya, Ning. Kalau begitu ana ke dapur dulu, Umi, Ning. Mau minum, assalamualaikum," pamit Anin.
Setelah mendengar jawaban, Anin baru meninggalkan mereka. Dapur tampak sepi, ia langsung mengambil gelas lalu menuangkan air putih di gelas. Diawali bacaan basmalah ia meminum itu. Lega rasanya ketika air itu mengalir di tenggorokannya.
Anin beristirahat sebentar di dapur. Lagi pula susah selesai pembelajaran, jadi ia tidak takut terlambat untuk masuk kelas. Beberapa hari berada di pesantren sudah membuat Anin nyaman. Meski tidak banyak beradaptasi, tetapi interaksi antar sesama membuatnya merasa berada di lingkungan keluarga.
"Woi, dicariin malah di sini."
"Kalau datang salam dulu, Ta," peringat Salma.
"Oiya, lupa. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam. Kenapa? Kalian nyariin ana?"
"Heem. Ana mau minta maaf karena kemarin enggak piket masak, malah jadi ngerepotin kamu," sesal Salma, ia lupa piket memasak kemarin. Bahkan sampai selesai makan pun ia belum ingat. Baru ingat paginya.
"Santai aja kali. Aku juga enggak merasa direpotin kok. Justru aku seneng bisa bantu di sini. Lagian 'kan aku belum dapat jadwal.piket, jadi enggak papa."
"Jazakillah khairan, Anin."
"Iya, sama-sama"
"Lain kali jangan lupa lagi!" peringat Dita.
"Iya-iya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Hati
Teen FictionPemesanan novel "Lentera Hati" bisa melalui wa (083161601480) Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komentar buat yang baca xixi😊 Anindita Keysa Zahra, gadis cantik dan ramah berusia enam belas tahun. Ia selalu menjaga pandangan dan menjaga...