السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
***
Sudah empat bulan Anin belajar di pesantren. Kini ia sudah hampir naik ke kelas dua belas. Dua hari lagi akan dilaksanakan Penilaian Akhir Semester. Itu artinya, hanya sekitar satu tahun lagi ia akan lulus dari jenjang SMA.
Sekitar dua minggu lagi, ia akan pulang ke kota. Tentunya untuk bertemu dengan keluarga dan teman-teman. Setelah pergi tanpa pamit, ia tidak mau hubungan pertemanannya hancur begitu saja. Mungkin teman-temannya masih merasa kecewa, ia pun menerima itu karena sudah menjadi konsekuensi keputusan yang ambil.
Di pesantren Al Ikhlas, kini semua santri dan santriwati tengah geladi bersih untuk persiapan penilaian. Segala kemantapan hati maupun otak telah dipersiapkan untuk lusa nanti. Berharap mendapat hasil yang memuaskan, sebab tidak ada usaha yang menghianati hasil.
Selesai membersihkan kelas, Anin ingin kembali menuju asrama untuk mengganti baju. Pasalnya, saat geladi bersih semua santri menggunakan pakaian olahraga. Karena kegiatan geladi bersih sudah selesai, ia pun berencana untuk mengganti baju yang sudah bau keringat.
"Eitss! Mau ngapain? Sepatunya kotor enggak? Baru ana pel." Baru saja ia ingin meninggalkan kelas. Gus Rafa datang membawa map plastik dan lem di tangannya.
"Bersih. Saya mau pasang nomor di meja kelas kamu."
"Ana aja, sepatu Gus Rafa kotor," ucapnya sembari memicingkan matanya melihat sepatu Gus Rafa yang terkena lumpur.
"Nih, nomor satu di samping pintu, nomor dua di meja sebelahnya. Nomor tujuh belas di samping nomor satu, dan seterusnya. Kalau sudah kasih mapnya ke saya. Kalau enggak di ruang guru ya di ndalem," jelas Gus Rafa dengan wajah datar membuat Anin heran. Pasalnya Gus Rafa jika bertemu dengannya selalu membuat dirinya sebal, tetapi kali ini berbeda.
"Mungkin fase mood buruk," batinnya bersuara.
"Nggeh, Gus."
"Saya permisi. Assalamualaikum."
Belum sempat Anin menjawab salam, Gus Rafa sudah pergi. Tidak biasanya ia seperti itu. Tak urung ia menjawab salam Gus Rafa. Lagi pula menjawab salam pahala. Ia pun masuk ke dalam kelas untuk memasang nomor-nomor sesuai dengan intruksi dari Gus Rafa.
Usai memasang nomor, ia menuju asrama untuk melakukan hal yang sempat tertunda. Lagi pula di kelas sudah tidak ada seorang pun, untuk apa ia berlama-lama di sana.
***
Suasana pesantren yang tadinga sangat ramai di lapangan sebab diadakan doa bersama agar kegiatan PAS terlaksana dengan lancar tanpa halangan apa pun, kini sudah sepi karena para santru sudan kembali ke asramasnya. Tidak ada yang istimewa, hanya sedikit motivasi dari Kiai Abdullah dan beberapa guru dan dilanjut doa bersama.
"Ukhti Naila?"
Naila yang terpanggil pun menolehkan kepalanya. Terkejut, senang, serta gugup yang ia rasakan sekarang. Pasalnya orang yang memanggilnya adalah orang yang salama ini ia kagumi.
"Iya, ada apa akhi manggil ana?"
"Tidak ada apa-apa hanya kebetulan lihat anti lewat saja. Ngomong-ngomong tumben sendiri, biasanya besama Ukhti Anin," ucapnya berbasa-basi.
Tentunya Naila senang bisa mengobrol dengan Zidan. Namun, mengapa pembahasannya harus Anin? Tidakkah ada topik lain selain Anin? Naila rasa ada banyak. Ia menjadi takut jika Zidan menyukai sahabat yang sudah ia anggap saudaranya. Akan tetapi jika itu terjadi, ia bisa apa? Bukankah hati yang memilih pelabuhannya sendiri?
Naila mencoba untuk berpikir positif. Ia tidak boleh asal menyimpulkan begitu saja. Lagi pula Anin sudah pernah berbicara jika ia tidak akan mengambil Zidan. Mereka juga tidak terlalu akrab.
"Ukhti baik-baik aja?"
"Eh, iya. Anin tadi sudah kembali ke asrama lebih dulu."
"Yah ..., sepertinya ana terlambat. Jadi tidak bisa melihatnya," lirihnya pelan, tetapi masih dapat terdengar oleh Naila meskipun samar.
"Hah?"
"Ah, tidak. Kalau begitu ana ke asrama dulu, ya? Tidak baik juga jika berduaab seperti ini. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam," jawab Naila lirih. Tentu saja ia kecewa, baru sebentar berbincang, tetapi Zidan sudah pergi. Ia memang salah jika menginginkan perbincangan yang lama. Mereka bukan mahrom, tentu saja akan terjadi fitnah jika ada orang yang melihat. Apalagi jika tertangkap mata oleh ustaz ataupun ustazah, bisa-bisa mereka akan terkena hukuman. Bahkan bisa langsung dinikahkan.
Karena sudah tidak ada orang, Naila pun kembali menuju pondok. Menepis rasa kagumnya kepasa Zidan sementara waktu. Kini yang harus difokuskan adalah belajar untuk PAS yang diadakan lusa.
"Naila!"
"Haii, ada apa, Nin?"
"Tadi aku liat Zidan, tuh. Kayaknya baru mau balik ke asrama. Dia sempat nyapa juga tadi," ucap Anin yang tadi tak sengaja berpapasan dengan Anin saat kembali dari ndalem untuk menyerahkan map yang tadi digunakan untuk menyimpan nomor yang tadi di tempel di dalam kelas.
"Iya, tadi juga ana sempat ngobrol sama Zidan."
"Ngobrol? Wah, ada kemajuan, nih. Semangat, ya, semoga kalian ditakdirkan bersama. Tetap jaga jarak dan jangan sampai terjadu zina. Buat hubungan baik. Ana mau tidur. Assalamualaikum, dadah Naila," peringat dan pamit Anin.
"Waalaikumussalam. Tapi Anin ...." Naila sengaja menjeda ucapannya. Anin yang sudah berjalan beberapa langkah pun mengentikannya laku berbalik ke arah Naila.
"Dia nanyain keberadaan kamu." Naila menunduk membuat Anin harus kembali berada di hadapan Naila.
Untuk seorang wanita yang tengah mengagumi seorang lelaki, tetapi lelaki menanyakan wanita lain memang wajar jika wanita itu sakit hati. Namun, tidak bisa dipungkiri jika wanita itu juga salah. Sebab lelaki itu juga tidak tahu bahwa wanita tengah mengaguminya.
Anin memegang kedua bahu Naila, kemudian mengangkat dagunya hingga matanya saling bertatapan. Tinggi mereka setara, Anin lebih tinggi sedikit dari Naila. Raut wajah Anin tampak serius.
"Kalau jodoh, enggak akan kemana. Ingat surah yasin ayat 36," ucap Anin dengan senyuman manisnya. Setelah mengucapkan itu, ia pun meninggalkan Naila yang terdiam sejenak. Ia bingung, apa isi surah yasin 36.
Naila berlari menuju kamarnya lalu melihat Al Quran dan mencari ayat yang dimaksud Anin tadi. Senyumnya mengembang ketika tahu apa maksud dari perkataan Anin. Ia membenarkan perkataan Anin jika jodoh tidak akan kemana.
“Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka sendiri, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.”
Dengan hati gembira, ia pun mengambil air wudu sebelum tidur. Setelah itu berzikir, membaca ayat kursi dan surah Al Mulk. Selesai membaca itu, ia pun terlelah menggapai alam mimpi.
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (Q.S. Az Zariyat 49).
Kehidupan dunia memang tidak bisa ditebak. Seperti plot twist dalam sebuah cerita. Penuh kejutan tak terduga. Tugas kita cukup jalani dengan penuh keikhlasan hati.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Hati
Teen FictionPemesanan novel "Lentera Hati" bisa melalui wa (083161601480) Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komentar buat yang baca xixi😊 Anindita Keysa Zahra, gadis cantik dan ramah berusia enam belas tahun. Ia selalu menjaga pandangan dan menjaga...