Tidak lama lagi bulan Rabiul Awal tiba. Tentunya termasuk bulan yang istimewa karena bulan itu adalah bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Untuk memperingati, tentu saja pesantren akan mengadakan kegiatan Maulid Nabi Muhammad.
Tentunya diperlukan persiapan yang matang agar acara berjalan dengan lancar. Proposal pun diurus dengan segera sebagai persiapan awal. Untuk pertama kalinya, Anin ikit andil menjadi panitia penyelenggara. Awalnya ia tidak mau, tetapi Salma dan Maira mendesaknya untuk ikut andil dalam acara ini.
Seminggu sekali setiap pulang sekolah, Anin beserta panitia lainnya mengadakan rapat untuk menyukseskan acara serta memantapkan persiapan. Selain tugas sekolah, tugas lainnya juga membuat Anin semakin sibuk.
"Jangan lupa nanti bakda duhur ada rapat lagi, Nin. Kamu siapin proposal yang kemarin dibuat," peringat Salma.
"Oke, Sal. Tapi nanti kamu duluan ke ruang rapat dulu aja, aku ada urusan sebentar."
"Oke. Siap."
Anin berjalan menuju asramanya untuk mengambil proposal yang sudah jadi. Sebelum menuju ruang rapat, ia menuju ndalem terlebih dahulu karena Umi Maisaroh memanggilnya selepas selesau pembelajaran tadi.
Tidak ingin membuang waktu, ia berjalan cepat agar urusannya juga cepat terselesaikan. Ia takut ketinggalan rapat dan berakhir tidak paham apa yang dibicarakan. Lagi pula propsal masih ditangannya, ia lupa tidak menitipkan kepada Salma karena terburu-buru.
Sebelum masuk, Anin mengetuk pintu dan mengucapkan salam terlebih dahulu. Ia mengutamakan kesopanan dan adab terlebih dahulu. Tidak mungkin ia langsung masuk begitu saja. Jika seperti itu, ia bukanlah manusia yang memiliki tatakrama.
"Assalamualaikum!" salam Anin kepada orang-orang yang berada di ndalem.
"Waalaikumussalam. Masuk, Nak."
Anin masuk ke ndalem. Di sana ada Gus Rafa, Maira dan Umi Maisaroh. Mereka mempersilakan Anin untuk duduk. Sebelum memulai pembicaraan, abdi ndalem menyuguhkan minuman untuk mereka.
"Emm ... ini ada apa, ya? Kenapa ana disuruh ke sini?"
"Gini, Anin. Kamu ingat kejadian beberapa minggu lalu saat kamu dan Rafa menyelamatkan ibu-ibu dari preman?" Anin mengangguk singkat. "Kami meminta kamu untuk menjadi ketua ekstrakurikuler silat. Karena kata Rafa dan Maira kemampuan kamu patut diacungi jempol."
"Tapi, Anin juga belum terlalu mahir, Umi."
"Kamu itu udah jago, Nin. Ana aja kagum liat antum ngelawan dua preman sekaligus tempo lalu," puji Maira membuat Anin bimbang untuk menerima jabatan menjadi ketua silat atau tidak.
"Kemampuan kamu bagus."
"Nah, Abang aja setuju kalau kemampuan kamu bagus, Nin."
"Anin pikir-pikir dulu boleh?"
"Boleh banget, semoga kabar baik yang besoknya kamu kasih."
"Insyaallah, Umi.
"Kalai gitu Anin mau rapat dulu. Assalamualaikum, semua."
"Waalaikumussalam."
Anin berlalu dari ndalem. Ia menuju ruang rapat. Dapat dipastikan teman-temannya pasti menunggu. Apalagi ini sudah lewat setengah jam dari jam yang ditentukan. Ia pun berlari kecil untuk sampai di sana dengn cepat.
Ia tak menyadari jika Gus Rafa berjalan santai di belakangnya diikuti Maira. Mereka juga ingin rapat. Anin tidak tahu saja jika yang akan memimpin rapat sekaligus ketua panitia nantinya adalah Gus Rafa.
Semua devisi sudah dibentuk. Anin mendapat bagian sekretaris dalam acara itu. Cukup banyak memang tugasnya, tetapi dengan hati yang ikhlas ia melaksanakan tugas sehingga terasa ringan.
"Assalamualaikum, maaf terlambat. Rapatnya sudah mulai kah?"
"Waalaikumussalam. Belum, Nin. Gus Rafa juga belum datang, jadi kamu enggak terlambat."
"Hah, Gus Rafa? Rapatnya dengen beliau?"
"Memang kenapa jika dengan saya?" sahut Gus Rafa dari belakang Anin.
"Astagfirullah, Gus. Enggak apa-apa, sih." Anin menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Gus Rafa melenggang menuju ke dalam.ruang rapat meninggalkan Anin yang terdiam di pintu masuk. Maira menepuk bahu Anin hingga sanh empu terlonjak. Adik kakak sama-sama mempunyai hobi mengagetkan orang, pikirnya.
Setelah semja berkumpul, rapat pun dimulai dengan tenang. Santai, tetapi serius. Persiapan semakin matang, waktu pun semakin dekat. Anggaran sudah di dapat. Tinggal mempersiapkan tempat untuk caranya.
***
"Gus!"
Gus Rafa menghentikan langkahnya karena merasa terpanggil. Menengok ke arah selatan, tampak gadis bergamis biru serta jilbab hitam tengah berlari sembari membawa map plastim di tangannya.
"Huhh ... ini prososal kegiatannya. Kalau ada yang perlu di revisi atau lainnya bisa konfirmasi ke ana lewat Ning Maira."
"Oke, bagus. Jazakillah khairan. Kamu boleh kembali ke asrama."
"Baik, Gus. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam. Jangan lupa mandi, saya mencium bau tidak sedap."
"Ya Allah, Gus. Saya baru aja mandi loh. Itu dari antum sendiri kali," sanggah Anin sembari berdecak sebal.
"Masa, sih? Orang saya wangi gini kok. Pasti dari kamu, tuh. Buktinya masih bau," ucap Gus Raga sembari menutup hidungnya.
Gus Rafa memang lelaki menyebalkan yang Anin kenal. Setiap pertemuan mereka, tidak ada kedamaian. Yang ada malah keributan mengenai hal-hal kecil. Ia sendiri juga heran, ketika melihat Gus Rafa saja ia sudah sebal. Apalagi ditambah mendengar suaranya yang berakhir perdebatan?
Entah mengapa juga Gus Rafa sangat senang membuat Anin kesal. Seperti sudah menjadi hobi barunya. Lagi pula mereka terlihat tidak sefrekuensi. Pantas saja jika setiap bertemu pasti terjadi perdebatan.
"Tau, ah. Saya capek. Itu bau karena Gus Rafa nginjek tai ayam mungkin di bawah. Saya mau ke asrama. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam. Ingat minggu depan rapat lagi."
"Iya, Gus, iya. Ana ingat, kok. Ana enggak pikun."
Gus Rafa terkekeh melihat Anin yang kesal. Setelah Anin menuju asrama. Ia pun melanjutkan perjalanannya menuju kantor guru untuk menyimpan proposalnya terlebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Hati
Teen FictionPemesanan novel "Lentera Hati" bisa melalui wa (083161601480) Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komentar buat yang baca xixi😊 Anindita Keysa Zahra, gadis cantik dan ramah berusia enam belas tahun. Ia selalu menjaga pandangan dan menjaga...