LH: 24

467 22 0
                                    

Assalamualaikum

Canggung dan terkejut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Canggung dan terkejut. Itulah suasana yang menggambarkan hati Anin. Dengan wajah pucatnya, ia berada di ruang tamu bersama dengan orang tuanya, kakaknya, serta kekuarga Gus Rafa. Alasan yang dikatakan sang abi membuat ia terkejut.

Ia menundukkan kepala sembari meremas ujung jilbab segi empat yang tidak ia sampirkan, memang sengaja agar menutupi baju area dadanya. Berzikir dalam hati sembari menunggu hal yang menjadi tujuan keluarga Gus Rafa ke sini. Tentunya menunggu suara Gus Rafa untuk menyakinkan apakah benar apa yang dikatakan ayahnya tadi?

"Ekhem." Gus Rafa memecah keheningan. Tentu saja menjadi sorotan semua orang, termasuk Anin meski ia hanya sekadar melirik.

"Assalamualaikum, sebelumnya terima kasih kepada keluarga Bapak Herman karena sudah menyempatkan waktunya untuk kami. Bismillah, tujuan saya dan keluarga saya ke sini ingin meminang putri Bapak."

"Apa yang membuat kamu ingin menjadikan putri saya menjadi istri kamu?"

"Atas petunjuk Allah melalui salat yang saya lakukan. Selain itu saya tertarik dengan putri bapak sehingga timbul rasa dalam dada. Saya tidak ingin mengajam berzina, karena itu adalah sesat. Saya ingin mengikat Anin dalam ikatan suci yang disahkan agama dan memenuhi sunah rosul."

Anin melirik Gus Rafa yang santai menjelaskan tujuannya tanpa rasa gugup. Jantungnya berdetak kencang, ia masih bingung dengan perasaannya. Ia belum meminta petunjuk melalui salat istikarah. Akan tetapi, ia memang merasakan hak aneh saat berdekatan dengan Gus Rafa. Belum tentu itu cinta, 'kan?

Pandangannya mengarah ke orang tuanya yang kini juga tengah menatapnya. Ia tahu, mereka pasti menyerahkan keputusan ini kepadanya sebab dirinya yang akan melaksanakan kehidupan ke depannya.

"Apa kamu bisa berjanji untuk tidak menyakiti mutiara berharga kami? Apakah kamu bisa menjamin untuk selalu membahagiakan dia?" Pertanyaan itu lolos dari mulut Arif. Pasalnya ia juga tidak mau adiknya hidup bersama orang yang salah.

"Saya tidak akan membuat janji, tetapi saya akan memberikan bukti. Saya akan mengerahkan tenaga saya untuk selalu membuat Anin bahagia. Bukan sekadar omongan, tetspi dengan tindakan."

Orang tua Gus Rafa serta Ning Maira seakan menjadi penonton saja. Mereka memang membebaskan Gus Rafa untuk menjawab segala hal yang dipertanyakan oleh pihat Anin. Sebab ini mengenai Gus Rafa dan Anin. Mereka yang akan menjalani kehidupan.

"Kami serahkan jawabannya kepada Anin. Sebab ia yang akan menjalankan, bukan kami."

Ketika namanya disebut, ia semakin gugup. Ingin pingsan saja rasanya berada di posisi ini. Ia masih muda. Memiliki KTP pun belum lama. Ia masih remaja, tetapi sudah dipinang. Jodoh memang tidak ada yang tahu.

"Anin butuh waktu. Anin ingin meantapkan hati dan juga meminta petunjuk Allah terlebih dahulu. Apakah Gus Rafa sanggup menunggu?"

"Tentu saja. Jangan lupa libatkan Allah dalam membuat segala keputusan."

***

Rasanya sangat lega ketika hati telah mengutarakan isinya. Sembari menunggu keputusan pasti, Gus Rafa melaksanakan salat di sepertiga malam, berdoa agar pilihan memilih Anin tidaklah salah. Atas izin Allah dan jika Allah berkehendak, keinginannya pasti menjadi nyata.

Usai salat malam, ia berzikir dan berdoa. Setiap manusia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Berdoa yang terbaik, tentu menjadi sebuah harapan karena doa yang dipanjatkan akan sampai kepada Allah.

Kala mentari muncul dari ufuk timur, Gus Rafa berniat joging untuk melemaskan otot-ototnya. Lagi pula ia sudah lama tidak berolah raga. Ia berlari mengelilingi kompleks perumahan. Cukul jauh memang, tetapi ia tetap joging dengan santai.

Usai joging, ia berencana untuk mengecek perkembangan kafe. Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian olahraganya dengan pakaian kasual, ia pun pergi menggunakan motor. Orang tua dan Maira tengah berkunjung di rumah pamannya sehingga di rumah hanya dirinya saja.

"Assalamualaikum, Pak," sapa salah satu karyawan di kafe.

"Waalaikumussalam."

Nama kafe yang dikelola Gus Rafa adalah RA Cafe. Singkat, tetapi bermakna. Gus Rafa menuju ruangannya untuk mengerjakan berkas-berkas yang harus diselesaikan sebelum ia kembali ke desa.

"Mau makan apa, Pak?"

"Nasi gorena sama teh anget dan air putih. Saya belum sarapan soalnya."

"Tunggu setebgah jam, ya, Bos. Nasi gorengnya belom mateng soalnya. Omong-omong, tumben Pak Bos ke sini. Biasanya juga akhir bulan."

"Ini juga akhir bulan."

"Lah, ini masih tanggal lima. Akhir bulan dari mana?"

"Sekarang tanggal 30 Rabiul Awal. Akhir bulan, 'kan?" tanya Gus Rafa semvaru terkekeh.

"Lah, iya." jawab karyawan kafe sembari menggaruk kepala yang tidak gatal.

Karyawan itu meninggalkan Gus Rafa sendiri di ruangannya. Kini Gus Rafa mulai mengerjakan pekerjaannya tanpa gangguan sehingga dapat cepat selesai sebab pekerjaannya tidak terlalu banyak.

Dua puluh menit menit mengerjakan, fokusnya menjadi buyar akibat terdengar keributan di bawah. Ia keluar dari ruangannya untuk melihat apa yang terjadi.

"Saya cuma ingin bertemu kakak saya. Apakah salah?"

"Sabar, Mai."

"Jika benar anda adiknya, mengapa kami tidak pernah melihat anda?"

"Batu banget, astagfirullah. Nih, ya, saya itu tinggak di desa, masih SMA ya kali saya bolak-balik ke sini," sebal Maira.

"Ada bukti?"

"Ada apa ini!" tegas Gus Rafa sembari melirik adiknya dan Anin.

"Tanyain sama karyawan antum."

"Sudah-sudah. Ini adik saya. Kalian semua bubar. Oiya, Salsa, buatkan makanan favorit untuk mereka."

Semua orang yang berkerumun kembali melakukan aktivitas masing-masing. Begitu juga dengan Maira dan Anin, mereka duduk di kursi paling pojok di samping jendala. Gus Rafa juga ikut duduk di sana sebab Anin mengatakan ada hal yang perlu dibicarakan.

Sembari menunggu makanan, mereka mengobrol agar suasana tidak terlalu canggung. Meski dominan obrolan Maira dan Anin, tetapi Gus Rafa tidak merasa teracuhkan.

"Gus!" panggil Anin sembari menundukkan kepalanya.

"Permisi ini makanannya." Baru saja ingin menjawab, pelayan membuatnya menunda perkataanya.

"Saya ... menerima pinangan Gus Rafa," katanya tanpa basa basi. Ia memang orang yang tidak suka berbasa basi.

"Alhamdulillah, kamu menerima saya dengan ikhlas, 'kan?" Anin mengangguk.

"Bacakan surah Ar Rahman sebagai mahar untuk ana," ucap Anin membuat senyum Gus Rafa mengembang.

Maira sebagai penonton adegan mereka hanya bisa pasrah. Bahagia, tetapi juga sedih. Rasanya ingin seperti mereka.

Lentera HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang