Seminggu setelah acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, kondisi Anin sudah membaik. Suaranya sudah normal setelah tiga hari tersiksa dengan suara yang nyaris hilang. Alhamdulillah Allah masih memberikan ia kesehatan dan mengembalikan suaranya sehingga bisa kembali seperti biasa.
Karena sekolah libur, ia masih bersantai di kamar. Jam menunjukkan pukul sembilan membuat ia beranjak untuk melaksanakan salat duha. Salat duha itu merupakan salat sunah yang dikerjakan pada waktu duha. Waktu duha adalah waktu ketika matahari mulai naik kurang lebih tujuh hasta sejak terbitnya hingga waktu zuhur.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Siapa yang selalu mengerjakan shalat Dhuha niscaya akan dia,mpuni dosa-dosanya walaupun sebanyak buih di lautan.” [HR. Tirmidzi].
Salat duha dikerjakan minimal dua rakaat. Namun, tidak ada larangan untuk menambah jumlah rakaat salat duha. Nabi Muhammad pernah melakukan salat duha 8 rakaat, berdasarkan riwayat Ummu Hani', "Nabi saw. pada tahun terjadinya Fathu Makkah beliau salat duha delapan rakaat." (H.R. Bukhari).
Selain itu, salat duha juga dapat disamakan dengan sedekah. Seperti yang diriwayatkan dalam Hadis Riwayat Muslim, Rasulullah bersabda,"Setiap pagi, ruas anggota tubuh kalian harus dikeluarkan sedekahnya. Amar ma’ruf adalah sedekah, nahi mungkar adalah sedekah, dan semua itu dapat diganti dengan salat duha dua rakaat."
Dengan mengetahui beberapa hadis mengenai salat duha, Anin pun selalu berusaha untuk mengiskamahkan salat duhanya setidap hari. Menggapai surga Allah itu tidaklah dengan harta, melainkan dengan ketaatan serta ketakwaan dalam menjalankan perinyahnya yang wajib maupun sunah.
Usai salat duha, ia keluar dari asrama. Lama berada di asrama sendiri membuatnya bosan. Ia tidak suka kesunyian, tetapi juga tidak betah lama-lama berada di keramaian. Aneh bukan? Tidak betah di dua situasi. Namun, itulah Anin.
"Dor!"
"Astagfirullah!" Anin memegang dadanya. Pelaku yang mengagetkannya pun tertawa lepas melihat Anin tersentak.
"Kalo aku jantungan gimana, Ta?"
"Lagian dari tadi di kamar terus, semedi, Buk?" tanya Dita dengan nada tidak santai. Anin memang sedari tadi berada di kamar, sedangkan Salma mendapat bagian ke pasar dan Dita entah pergi kemana.
Dita mengajak Anin ke taman. Mereka pun bercengkerama sembari duduk di salah satu gazebo. Tanpa mereka sadar, di sebelah gazebo yang ditempati mereka terdapat santri laki-laki. Namun, mereka bergerombol, tidak seperti Anin dan Dita yang hanha berdua.
"Aa, kucing!" jerit Anin. Dengan tiba-tiba kucing melompat dari belakang gazebo ke pangkuannya.
"Ta, Ta, plis aku takut kucing. Enggak usah ketawa!"
"Ya Allah, Nin. Kucing lucu, loh." Dita tertawa sembari menyodorkan kucing ke arah Anin. Anin sendiri sudah ketakutan sembari memeluk pinggiran gazebo.
Keributan mereka mengundang atensi dari santri yang bergerombol di gazebo sebelah. Dita belum menyadari jika mereka menatap ke arahnya dan Anin. Apalagi Anin yang oandangannya tertutup pinggiran gazebo. Hampir saja ia menangis karena kucing yang terus dipegang oleh Dita.
"Ta, apa, tuh!" seru Anin menunjuk ke sisi kanan gazebo yang sebenarnya tidak ada apa-apa.
"Mana?" Dita celingukan mencari apa yang dimaksud oleh Anin.
Kesempatan itu tak Anin sia-siakan. Dengan sigap ia melompat dari gazebo dan berlari ke asrama tanpa mengindahkan jika nantinya ia tidak memakai sandal. Saat sudah berhasil berlari, ia menoleh ke belakang. Pandangannya bukan ke arah Dita, melainkan segerombolan santri, bahkan terdapat Gus Rafa memperhatikan gerak-geriknya.
"ANIN! AWAS KAMU, YA!" teriak Dita saat sadar jika telah dibodohi oleh Anin.
Dita memutar badannya 180 derajat. Dan ..., ya, pandangannya bertemu dengan banyak santri. Rasa malu menyergap di dirinya. Dengan menutup wajahnya dengan kucing, ia berlari menjauhi taman.
Kini mereka sudah berada di asrama kembali setelah kejadian memalukan tadi. Anin pikir, gerombolan santri tadi pasti sudah memperhatikan sejak ia berteriak ketakutan. Paslnya ia berteriak cukup keras. Hal yang paling membuat ia malu yaitu saat ia melompat turun dari gazebo dan terus berlari tanpa alas kaki.
"Bener-bener, Ta. Aku malu banget tadi."
"Sama, Nin. Mana tadi juga ada Gus Rafa. Lagian kamu kenapa ninggalin aku?"
"Dibilang aku takut kucing tapi kamu malah nyodor-nyodorin kucingnya ke aku. Dan aku yakin, Ta, mereka liat kita dari aku jerit pas ada kucing lompat ke aku."
Mereka sama-sama terdiam. Anin meminum air putih yang tersedia di atas nakas untuk menenangkan hatinya. Memejamkan matanya sejenak sembari membaca salawat membuatnya kini sedikit lebih baik. Baru saja merasa lebih baik, ia teringat sesuatu hingga membelalakkan matanya.
"Ya Allah!"
"Apa, sih! Kaget ana, Anin!" sebal Dita sebab tersentak. Baru saja ia memejamkan matanya dan ingin terbang ke alam mimpi.
"Sandal swallow ana, Dita! Ketinggalan di gazebo!" teriak Anin histeri.
***
Hari ini adalah hari yang cukup melelahkan dan memalukan bagi Anin. Kini hari sudah menjelang malam, tetapi ia belum juga mendapatkan alas kakinya kembali. Ingin mengambil, tetapi ia malu jika di sana masih ada orang.
Akhirnya Anin meminjam sandal Naila jika ingin salat karena ia sedang berhalangan. Anin pun kini tengah berjalan menuju asrama setelah selesai mengambil minum di dapur. Matanya membulat kala melihat Gus Rafa menenteng sandal swallow warna hitamnya.
"Gus!"
"Waalaikumussalam."
"Ah, iya. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam, ada apa?"
"Itu ... ambil sandal di mana, Gus?"
"Nemu tadi, tuh, di taman. Tadi pagi saya liat ada perempuan yang lagi ketakutan sama kucing terus ngerjain temennya. Abis itu lombat dari gazebo, eh sandalnya ketinggalan, jadi baru aja saya ambil."
"Itu punya ana, Gus. Balikin dong," pintanya sembari menahan malu.
"Masa, sih? Bukannya punya cewek yanh tadi lompat?" tanya Gus Rafa dengan raut wajah menyebalkan.
"Ya, 'kan, itu saya."
Wajah menyebalkan Gus Rafa membuat hasrat Anin ingin menonjok semakin besar. Rasanya malu bercampur sebal menjadi satu dalam diri Anin. Ia memejamkan matanya sejenak agar emosinya tidak meledak.
"Gus Rafa yang paling ganteng, boleh kembaliin samdalnya enggak? Itu sandal saya satu-satunyaz Gus. Ya kali cewek cantik nyeker, 'kan enggak etis, Gus," ujar Anin dengan suara yang dilembut-lembutkan.
"Saya tau saya ganteng, dan karena saya baik, jadi sandalnya saha kembalikan kepada gadis ninja gazebo. Nih." Gus Rafa menyodorkan alas kaki Anin dan diterima dengam baik. Senyumannya merekah, seketika rasa sebalnya hilang tergantikan rasa bahagia hanya sekadar dengan kembalinya sandal.
"Gus Rafa emang paling baik. Jazakallah kahiran katsiran, Gus. Ana pergi dulu, assalamualaikum."
"Waalaikumussalam, jangan lupa cuci kaki. Awas nginjek kotoran ayam," peringat Gus Rafa.
"Iya, Gus Ganteng!" jawab Anin. Tidak tau man jika di sini jantung Gus Rafa sedang maraton sebab dipuji ganteng oleh gadis remaja bertingkah absurd itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Hati
Teen FictionPemesanan novel "Lentera Hati" bisa melalui wa (083161601480) Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komentar buat yang baca xixi😊 Anindita Keysa Zahra, gadis cantik dan ramah berusia enam belas tahun. Ia selalu menjaga pandangan dan menjaga...