LH: 07

655 31 0
                                    

Jumat, hari yang ditunggu-tunggu oleh para santri Pesantren Al Ikhlas. Jumat itu hari libur, tentunya mereka akan terbebas dari tugas dan kegiatan sekolah. Mereka bebas melakukan apa pun selagi tidak melanggar aturan pesantren.

Seorang ikhwan tengah bersantai ditemani segelas kopi. Ia menyet salawat dari gawainya yang di sambungkan dengan pembersar suara. Matanya terpejam menikmati alunan salawat. Sesekali ia juga ikut melantunkan suara mengikuti nada salawat.

Brak!

"Assalamualaikum, Abang!" teriak Maira dari luar kamar membuat Gus Rafa tersentak.

"Waalaikumussalam. Biasa aja, Mai. Enggak usah ngegebrak pintu sama teriak juga. Abang enggak tuli," peringat Gus Rafa setelah membuka pintu. Gus Rafa memutar bola mata ketika melihat adiknya malah cengengesan tidak jelas di hadapannya.

"Afwan, Bang, hehe. Mai mau minta tolong anterin ke pasar. Mai sama Anin, santriwati baru itu."

Maira mengungkapkan tujuannya. Gus Rafa berpikir sejenak. Ia memang tidak ada kegiatan hari ini, tetapi pasar bukanlah hal yang menarik baginya. Apalagi hanya sebagai sopir adiknya.

Ingin menolak, tetapi pasti Maira akan melaporkan ia kepada sang umi. Namun jika ia mengiyakan, pasti ia akan bosan jika menunggu di mobil. Dengan sedikit berat hati, ia pun menyetujui keinginan sang adik.

"Yaudah, ayo."

Mereka pun berjalan menuju garasi mobil. Anin tadi sudah menunggu di ndalem. Ketika melihat Maira turun bersama Gus Rafa, ia pun menghampiri Maira dan ikut menuju garasi.

Di dalam perjalanan, hanya suara Maira saja yang dominan. Gus Rafa dan Anin lebih banyak diam. Terlebih kejadian kemarin masih membuat Anin canggung untuk berinteraksi dengan Gus Rafa.

Gus Rafa pun tidak menghiraukan itu. Lagi pula peristiwa itu sudah berlalu. Sekarang ia fokus menyetir agar tidak terjadi yang yang tidak diinginkan. Dengan kecepatan rata-rata, ia melajukan mobilnya sembari melihat-lihat pedesaan sekitar.

Di kursi belakang, Anin dan Maira mengobrol asyik. Sesekali juga Anin bertanya mengenai pedesaan yang ada di sini mengenai kehidupan, mata pancaharian, dan lainnya. Dengan antusias, Maira pun menceritakan tentang pedesaan yang ada di sekitar pesantren.

Saat lelah mengobrol, Anin melihat-lihat sekitar melewati cendela. Hijau dan segar, tidak seperti kota yang panas dan jarang pepohonan. Perbedaan yang sangat kentara, pikir Anin.

"Tolong!"

Bruk!

Gus Rafa mengerem mendadak ketika mendengar suara orang meminta tolong. Anin yang tak siap pun menabrak kursi di depannya serta kepalanya sedikit terbentur pintu mobil. Ia mendongat seraya mengusap dahinya.

"Bang, itu tuh, ada tiga preman mau malak ibu-ibu." Tunjuk Maira ke arah ibu-ibu yang dikepung oleh tiga preman.

"Kalian di sini aja, biar saya yang ke sana."

Gus Rafa pun keluar dari mobil untuk menolong ibu-ibu itu. Untung saja ia bisa bela diri, meski belum terlalu mahir. Ia pun segera mengerahkan tenaganya demi melindungi ibu itu.

Tampak sedikit kewalahan melawan preman itu. Anin yang tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut campur pun turu dari mobil ketika salah satu preman mengluarkan pisau kecil dari sakunya.

Saat preman itu ingin menusuk Gus Rafa, Anin pun menedang tangan preman. Beruntung sang oreman tidak menyadari kehadirannya sehingga dengan mudah ia melepaskan pisau itu dari tangan preman. Untubg saja ia memakai gamis yang longgar dan juga legging untuk rangkapan.

"Lari, Gus!" titah Anin kepada Gus Rafa agar pergi menjauh dari preman.

"Mana bisa saya biarin kamu sendiri. Gila, hah!"

"Terserah, Gus, deh. Hati-hati kalau mau ngelawan mereka."

Gus Rafa mengangguk mantap. Ia melawan satu preman sedangakan Anin dua preman. Jika dibandingkan, Anin memang lebih unggul. Bahkan ia sampai dibuat kagum dengan skil bela diri yang dikeluarkan gadis di sampingnya.

"JANGAN NGELIATIN ANA, GUS. LIAT LAWANNYA MAU BOGEM ANTUM!"

Bugh!

"Astagfirullah."

"Kan ana udah bilang, Gus."

"Kamu ngomongnya telat."

"Woy, debat mulu. Ayo buruan lawan gue!" sentak salah satu preman yang menjadi lawan Anin.

"Wah, nantangin."

Anin langsung menonjok rahang preman itu hingga ia terbatuk. Setelah semua preman tumbang, barulah mereka menghentikan pertarungannya. Ibu-ibu tadi sudah aman bersama Maira di samping mobil.

Anin dan Gus Rafa pun menghampiri Maira, mereka menanyakan keadaan ibu tersebut. Setelah aman, mereka memutuskan untuk mengantar pulang samg ibu baru melanjutkan perjalanan mereka ke pasar.

***

"Ya Allah, Nak. Muka kamu kenapa?" tanya Umi Maisaroh saat melihat pipi Anin yang memar.

"Umi, ini anaknya bonyok juga kok yang ditanya cuma dia?"

"Kamu cowok, pasti kuat sama luka begituan doang mah"

Ketika pulang dari pasar, Umi Maisaroh sudah menunggu di dapur. Beliau heran mengapa anaknya tak kunjung pulang, padahal hari yang lalu jika ada anak yang jadwal ke pasar, pasti hanya membutuhkan kurang lebih satu jam.

Tentunya ia terkejut serta khawatir saat melihat anak dan santriwatinya datang dalam keadaan terluka. Segera, beliau mengambil kompresan untuk mengobati luka Anin dan juga Gus Rafa. Takutnya jika tidak langsung dikompres, lukanya akan semakin parah dan infeksi. Meski hanya memar, hal itu tidak boleh disepelekan.

Gus Rafa duduk di gazebo yang tersedia di taman belakang pesantren. Sunyi, damai, dan menenagkan hati. Sangat dianjurkan jika sedang setres bisa ke sana untuk mendinginkan pikiran.

"Ana kira Gus Rafa itu mental yupi, ternyata bukan," ucap Anin yang datang dengan dua baskom kompresan.

"Kamu pikir ana cowok letoy," jawab Gus Rafa sarkas.

"Kali aja," balas Anin sembari meletakkan baskom berisi kompresan di samping Gus Rafa.

"Saya permisi, Gus. Jangan lupa dikompres muka jeleknya," kelakar Anin sukses membuat Gus Rafa kesal.

"Jelek-jelek ginu banyak yang suka."

"Ihh, masa. Ana enggak percaya. Udah deh, ana juga mau ngobatin memar ana. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

***

Kini Anin berada di dalam asrama. Ia di suruh istirahat oleh Umi Maisaroh. Padahal ia tidak terlalu lelah, hanya badannya saya yang pegal pada bagian yang terkena pukulan saja.

Bakda duhur, Anin berniat untuk tidur setelah salat. Ia merapikan tempat tidurnya terlebih dahulu agar nyaman saat ditempati. Setelah selesai, ia pun mulai menaiki ranjangnya dan memejamkan matanya."

"Assalamualaikum!"

Baru saja ingin terlelap, Anin kembali membuka matanya. Melihat siapa yang datang membuatnya harus terduduk di ranjang.

"Eh, maaf, Nin. Kamu mau tidur, ya? Aku cuma bawa makanan sama minuman. Kata Ning Maira kamu sakit dan belum makan siang."

"Siapa yang sakit, Nai. Aku cuma kecapekan doang ya ampun. Kamu repot-repot segala bawain ini."

"Enggak lah. Bawa ginian doang. Lagian kamu kan udah jadi bagian dari pesantren. Jadi kamu itu udah aku anggap keluarga aku."

"Uluh-uluh, jadi sayang deh sama anti cantik," ucap Anin membuat Naila tertawa.

***

Lentera HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang