السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Awas typo!***
Hari di mana semua santri menyelesaikan penilaiannta telah tiba. Ditutup dengan pelajaran Seni Budaya yang tidak terlalu memberatkan pikiran, akhirnya para santri bernapas lega sebab telah melalui hal yang menentukan sejauh mana pencapaian mereka belajar.
"Alhamdulillah, Ya Allah, akhirnya selesai juga tesnya!" seru Dita lalu menjatuhkan diri ke atas ranjang.
"Eh, liburan kalian mau kemana?" tanya Salma sembari menumpukan dagu di atas lutut.
"Kalo aku paling di rumah doang," jawab Dita yang kini tengan memeluk guling milik Anin.
"Sama. Palingan nanti cuma ketemu temen-temen SMA."
"Wah, monoton sekali liburan kalian. Contoh ana, nih. Liburan tuh rebahan di kamar," sombong Naila membuat Anin dan Dita memutar bola mata malas.
Anin merebahkan diri di karpet, karena hawanya panas, ia pun mengganti hijabnya menjadi hijab instan yang menutupi dada terlebih dahulu. Hijab tudak terlalu tebal, tetapi tidak transparan. Bahan adem membuat ia lebih nyaman.
Ia memejamkan matanya karena kantuk tiba-tiba menyerang. Lagi pula sudah pukul setengah sebelas, jadi sudah boleh tidur. Salma dan Dita melanjutkan obrolan tanpa tahu bahwa Anin tertidur di karpet.
"Assalamualaikum!" salam dari luar kamar menghentikan obrolan mereka. Salma membuka pintu, tampaklah Naila datang membawa sekanton plastik buah jeruk.
"Waalaikumussalam. Wah bawa jeruk, mau dong." Dita mengambil alih jeruk yang berada di tangan Naila.
Di sisi lain Anin tengah mengerjabkan matanya sebab terganggu dengan suara di depan pintu. Ia mendudukkan dirinya sembari mrngumpulkan nyawa yang masih melayang-layang. Setelah kesadarannya penuh, ia baru melihat ke arah Naila yang berbincang dengan kedua teman satu kamarnya di depan pintu.
Dengan gontai, Anin menghampiri mereka. Sebenarnya ia juga ingin mencuci mukanya agar terbebas dari kantuk. "Permisi, numpang lewat. Ana mau ke toilet."
"Monggo," jawab teman-teman Anin serempak.
Masih dengan gontai Anin menuju toilet. Cukup jauh memang. Kamarnya berada di batisan kedua sebelum pojok asrama, sedangkan toilet berada di lorong asrama sehingga untuk ke sana Anin harus melewati sekitar sepuluh kamar.
Allahuakbar, Allahuakbar!
Ketika mendengar azan, Anin berlari menuju toilet. Ia tidak mau ketinggalan salat duhur hanya karena lambat berjalan. Hampir saja ia menabrak salah satu santriwati saat berbelok ke lorong toilet. Setelah sampai toilet, ia mencuci muka dan berwudu.
***
Mendapat piket siang bagian ndalem adalah hal yang disenangi sebagian santri sebab berkemungkinam bertemu Gus Rafa. Namun, tidak dengan Anin yang masih heran akan sifatnya akhir-akhir ini. Mungkin mrmang wajar jika seoarang laki-laki menjaga jarak dengan seorang perempuan uang bukan mahrom, tetapi tetap saja jika yang awalnya jahil menjadi cuek jika tanpa sebab itu tidak mungkin.
Dengan lima orang santriwati lainnya, Anin membersihkan ndalem. Mereka membagi tugas. Ia mendapat bagian ruang tamu yang cukup luas. Di mulai dengan menyapu dan mengelap-elap benda-benda seperti foto dan pajangan lainnya.
Setelah selesai, ia membawa setengah ember air dari kamar mandi untuk mengepel. Suasana di sana sepi, entah kemana penguhinya, Anin tidak tau. Terpenting baginya sekarang yaitu menyelesaikan pekerjaannya.
Dari luar rumah, Anin melihat Gus Rafa ingin masuk dengan berlari. Tampaknya ia tengah terburu-buru. Pakaiannya rapih seperti ingin bepergian jauh.
"Ati-ati, Gus, licin!"
GABRUG!
Anin ingin tertawa tetapi juga kasihan melihat Gus Rafa terjatuh dengan sangat tidak estetik. Ia melipat bibir ke dalam mulut untuk menahan tawa yang detik itu juga bisa meledak.
"'Kan saya udah bilang, Gus! Mohon maaf, saya enggak kuat. Izin ketawa, Gus. Hahaha ...."
Anin tertawa, tidak sampai terpingkal-pingkal. Hanya tertawa biasa daja sebab tidak kuat menahan untuk tidak tertawa. Memang sangat jahat dirinya ini. Ingin membantu, tetapi bukan mahrom. Jadilah ia hanya menertawakan.
"Udah puas?"
"Alhamdulillah udah," jawabnya sembari tersenyum manis.
"Kamu berdosa sekali. Bukannya dibantu malah diketawain."
"Gimana mau bantu, Gus. Bukan mahrom. Mana boleh pegang-pegang," sahut Anin santai sembari melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.
"Kalau udah mahrom pas saya jatuh kamu bakal nolongin atau ngetawain?"
"Eh, kok gitu? Seakan-akan Gus mau halalin saya biar mahrom," ucap Anin masih dengan mengepel.
"Ngarep banget dihalalin saya."
"Saya cuma ngomong, enggak ngarep. Udah deh, mending antum ganti baju terus pergi. Mau pergi 'kan?"
"Ngusir?"
"Iya, kenapa?"
"Ini rumah saya. Saya yang lebih berhak ngusir anti."
"Oh tidak bisa. Saya belom selesai piket. Kalau udah selesai, tanpa antum usir pun ana bakal pergi."
"Kalau gitu ana yang pergi, assalamualaikum."
"Nah emang harsunya gitu, waalaikumussalam."
Selama perdebatan itu pun Gus Rafa masih menggunakan tampang datarnya. Biasanya Gus Rafa yang akan membuatnya sebal, tetapi mungkin kali ini sebaliknya. Berharap Gus Rafa seperti dulu pun Anin tidak bisa, ia tidak berhak akan Gus Rafa.
Anin masih mengepel hingga seluruh ruang tamu bersih. Setelah itu, ia membawa ember berisi air kotor ke toilet. Selesai sudah pekerjaannya. Seperti yang ia bilang, jika pekerjaannya selesai, tanpa diusir ia akan keluar. Setelah berpamitan dengan santriwati lain yang belum menyelesaikan tugasnya, ia kembali ke asrama.
"Mau kemana?"
Baru saja keluar dari pintu ndalem, suara Gus Rafa kembali terdengar. Sekarang ia sudah berganti baju menjadi pakaian formal dengan kunci mobil di genggaman tangannya. Tampan, itulah hal yang bisa digambarkan dari penampilan Gus Rafa saat ini.
"Ke asrama. Saya 'kan udah selesai piket."
"Kata siapa udah selesai?" tanya Gus Rafa sambil bersedekap dada.
"Saya, 'kan tadi yang yang ngomong." Sungguh, kini berganti Anin yang menyebalkan.
"Karena kamu udah bikin saya jatuh dan membuat saya yang harusnya ke kota jadi sampai saat ini belum berangkat, jadi kamu harus nyapu halaman ndalem sekarang."
"Loh, enggak bisa gitu dong. 'Kan itu bagian Mbak Maya."
"Maya sudah saya suruh kembali ke asrama. Sebagian udah di sapu, kamu yang lanjutin."
"Ta—"
"Enggak ada tapi-tapian, cepetan! Anggap aja simulasi."
"Nyapu kok simulasi. Simulasi apaan coba?"
"Simulasi jadi ART."
Anin mengepalkan telapak tangannya, rasanya ingin menonjok wajah datar Gus Rafa. Namun, ia menahan itu. Lagi pula setelah mengucapkan itu Gus Rafa langsung pergi menggunakan mobilnya.
Simulasi ART? Gus Rafa pikir ia ingin menjaid pembantu? Sungguh menyebalkan sekali. Tak urung Anin melanjutkan menyapu halaman. Meski ia sudah lelah, tetapi tetap saja. Hari inj adalah piketnya. Ia harus menyelesaikan semua yang belum terselesaikan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Hati
Teen FictionPemesanan novel "Lentera Hati" bisa melalui wa (083161601480) Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komentar buat yang baca xixi😊 Anindita Keysa Zahra, gadis cantik dan ramah berusia enam belas tahun. Ia selalu menjaga pandangan dan menjaga...