LH: 10

678 31 0
                                    

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Halo semua. Aku mau kasih info kenapa di part di akhir² ini enggak pake gambar. Because aku gak ada kuota. Kalo mau publish ya minta thetring kakak. Sampe enggak bisa nyelipin gambar. Trus kenapa banyak typo? Karena aku ngetik malem sampil ngantuk hehe.

***

Waktu memang kerap kali terasa cepat. Terkadang kita merasa waktu yang ada itu kurang. Jangan salahkan waktu, tetapi salahkan diri sendiri karena tidak bisa mengatur waktu dengan baik. Terkadang jika kita melakukan sesuatu, waktu terasa berjalan begitu cepat.

Kini, Anin merasakan waktu berjalan begitu cepat. Rasanya baru saja ia ingin rapat untuk pembagian tugas divisi, tetapi sekarang acara akan dilaksanakan tiga hari lagi. Artinya ia harus menyerahkan proposal kepada Gus Rafa hari ini. Sejujurnya ia malas jika harus berurusan dengan Gus Rafa, hanya akan ada keributan saja.

Gus Rafa yang jahil dan Anin yang mudah kesal membuat mereka tampak serasi kata teman-teman seasrama Anin. Padahal menurutnya, jangankan dikatakan serasi, akur saja sangat jarang.

"Assalamualaikum, Akhi?" salam Anin saat melihat wakil ketua panitia.

Dari pada berurusan dengan Gus Rafa, mending ia menyerahkan proposal kepada ketua panitia saja, itulah yang ada di pikirannya. Lagi pula itu juga salah satu untuk mencegah perdebatan antaranya dirinya dan Gus Rafa.

Anin meminta ditemani oleh Naila. Kebetulan Naila sedang tidak sibuk. Dita dan Salma temgah piket membersihkan halaman belakang pesantren. Ia sendiri belum tau kapan jadwal piketnya.

"Waalaikumussalam, ada apa, ya?"

"Anu—" Ucapan Anin terpotong kata Naila menarik ujung bajunya sembari menunduk dalam. Tentu saja ia heran mengapa Naila bersikap seperti itu.

"Ana mau nitip proposal ini untuk Gus Rafa. Akhi Zidan bisa antarkan ini, 'kan? Ana tidak sempat karena masih ada pekerjaan lainnya," jelas Anin sembari menyerahkan proposal yang sudah dijilid rapi.

"Bisa. Terima kasih Ukhti Anin. Ana lihat anti sangat sibuk di kegiatan ini. Semoga lelah anti terbayar dengan kesuksesan acara ini. Jangan lupa istirahat untuk Ukhty Anin dan Ukhty Naila. Ana permisi dulu, tidak enak jika bersama yang bukan mahrom. Takut menimbulkan fitnah. Assalamualaikum." Lelaki bernama Zidan pun pergi meninggalkan Anin dan Naila.

Anin dan Naila kembali ke asrama. Mereka ingin beristirahat karena seharian sudah bekerja. Apalagi beberapa hari lagi acara akan dimulai. Anin merebahkan diri di karpet di susul Naila yang duduk bersila di samping Anin.

"Anti kenapa tadi kayak gitu ke ana?"

"Enggak papa," jawab singkat Naila.

Pandangan Anin mengarah pada Naila. Dahinya mengerut, Naila tampak menyembunyikan sesuatu darinya. Wajahnya memerah. Saat ia memegang tangannya juga dingin. Ada apa sebenarnya dengan Naila.

"Antum ... suka sama Zidan, ya!"

"Enggak!" sanggahnya cepat, teyapi tak urung wajahnya bersemu.

"Ciee. Oh ... pantesan tadi nyuruh istirahat. Ternyata ada makna tersirat. Ekhem-ekhem, keselek angin ana," goda Anin sembari tertawa puas. Jarang-jarang ia dapat menggoda Naila.

"Ciee, suka Zidan."

"What! Naila, demi apa anti suka Zidan?" tanya Dita yang datang dengan tiba-tiba bersama Salma.

"Wajar kali, Ta. Zidan itu soleh, ganteng, ramah, bertanggung jawab, rajin, pinter. Kurang apa coba? Lelaki idaman itu mah," sahut Salma.

Naila pun wajahnya semakin bersemu. Semakin banyak orang yang menggodanya membuat ia malu. Ia emmang menyukai Zidan, tetapi ia belum beranu bercerita kepada siapa pun. Bisa dibilang mencintai dalam diam. Naila pun tidak berharap lebih.

Mengangumi tidak harus memiliki, terlebih mengagumi orang yang disukai banyak orang, kesempatan pasti sangat sedikit. Sangat sulit untuk digapai. Hanya dapat mengandalkan Allah lewat sepertiga malamnya. Selalu percaya takdir Allah itu indah, itulah prinsipnya.

Ingin dipersatukan dengan siapu pun, itu takdir Allah. Kita harus bahkan wajib menyukuri dengan hati yang lapang. Jika memang berjodoh, pasti tidak akan kemana.

"Kalo suka itu perjuangin, Nai. Lewat sepertiga malam, insyaallah jadi jodoh," ucap Anin santai.

"Kamu juga, Nin. Kalo suka sama Gus Rafa ya perjuangin atuh," titah Salma.

"Sejak kapan ana suka sama Gus Rafa, astagfirullah. Ngada-ngada kamu."

"Aku itu sering liat kamu sama Gus Rafa. Ya ... meskipun ribut terus, sih. Tapi kalian itu serasi banget. Satu cantik, satu ganteng. Semoga samawa, ya?"

"Kamu pikir ana nikah sama Gus Rafa."

"Amiin," serempak teman-teman Anin.

"Ngapain amin?"

"Amin, besok kamu nikah sama Gus Rafa. Ya 'kan teman-teman," jawab Dita membuat Salma dan Naila tergelak, tetapi membuat Anin mengerucutkan bibirnya.

***

Suasana makan malam di pesantren Al Ikhlas sangat ramai. Dengan daun pisang sebagai alas nasi dan lauk membuat suasanya tradisional tercipta. Dengan adanya kesederhanaan membuat Anin sadar. Tidak selamanya semua pasal uang, tetapi juga pasal kebersamaan sebagai makhluk sosial.

Jika di kota ia terbiasa dengan kemewahan yang diberikan orang tuanya, di sini ia belajar kesederhanaan dengan apa adanya. Di sini kekeluargaan dijunjung tinggi, beda dengan di tempatnya dulu yang banyak mementingkan diri sendiri.

Ia tersenyum melihat betapa harmonisnya suasana pesantren. Baru beberapa bulan ia di sini, sudah merasakan kenyamanan. Bahkan meninggalkan pesantren pun enggak. Sudah terlanjur nyaman dengan segala hal di pesantren ini.

Usai makan malam, Anin kembali ke asrama. Ia mengambil wudu lalu membuka Al Quran kecilnya. Ia melatih hafalan Al Qurannya. Meskipun ia sibuk, ia tidak akan melepaskan kebiasaannya yaitu membaca dan menghafal Al Quran. Karena terlalu lelah, ia pun tertidur dengan kitab suci terjatuh di samoing lehernya.

"Assa—lamualaikum," ucap Dita yang tadinya menggunakan suara cukup keras pun melirihkan suaranya.

"Kasian banget dia, Sal. Kecapekan sampe ketiduran pas baca Al Quran."

"Iya, tugas dia banyak. Bahkan lebih bangak dari tugas kita. Padahal dia masih santri baru loh."

"Dia itu cerdas dan tegas. Pantas aja ia dipercaya lebih dari kita."

"Patut diapresiasi."

"Benar."

Dita pun mengambil Al Quran yang tadi terjatuh dan meletakkan di lemari kecil yang tersedia. Setelah memberikan Anin selimut, Dita dan  Salma pun ikut tertidur karena hari mulai larut.

Di sepertiga malam, Anin terbagun. Menggeliat senejak lalu mendudukkan diri. Ia melihat jam kecil yang ada di atas meja. Pukul tiga dini hari. Tadinya ia mengira masih pukul sebelas malam, ternyata bukan. Ia pun mengambil air wudu lalu mengerjakan salat sunah tahajud empat rakaat.

Setelah itu, ia pun membaca Al Quran sembari mrnunggu azan subuh berkumandang. Surah yang ia pilih adalah Al A'la.

***

Lentera HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang