LH: 22

441 21 0
                                    

Assalamualaikum
Haii, apa kabar?

AssalamualaikumHaii, apa kabar?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Senja terlihat sangat indah. Dilihat dari lantai dua kafe berdinding kaca, fenomena itu tak akan ada tandingannya. Semburat jingga menghiasi cakrawala sangatlah memesona. Di sebuah kafe, Anin meikmati senja ditemani Ana dan Dini, tidak lupa makanan serta minuman sebagai pelengkap menikmati senja.

Ia memotret pemandangan di hadapannya. Senja mengajarkannya untuk tidak berharap pada hal yang datang membawa kesan indah. Yang indah tidaklah kekal, ia hanya singgah tanpa berniat menetap.

"Anin, sebenernya apa alasan kamu pindah tiba-tiba tanpa ngasih tau kita?" tanya Ana sembari menumpukan dagunya di atas telapak tangan.

"Aku cuma pengen memperdalam ilmu agama. Gak lebih dari itu, Na." Anin menoleh untuk melihat Dini, "Gimana rasanya ditinggal aku?"

"Kamu itu jahat banget. Aku kehilangan, enggak punya partner ribut lagi. Kelas jadi sepi banget gegara ditinggal sama ratunya."

"Berlebihan tau enggak."

Anin meminum jus jambu yang tersedia di meja. Lama tidak bertemu Ana dan Dini membuat suasana di antara mereka sedikit berbeda. Ada sedikit rada canggung di diri Anin, tetapi ia mencoba menepis itu.

Mereka tetus bercerita hingga suasana mencair. Rasa canggung pun berkurang. Mau hubungan itu dikatakan sahabat atau teman dekat, jika berpisah lama tanpa kabar, saat bertemu kembali akan berbeda suasana lagi.

"Din, dia anak baru itu, 'kan?" tunjuk Ana saat tak sengaja ia melihat remaja jangkung memasuki lantai dua.

"Iya. Kenapa? Kamu naksir sama cowok belagu kayak dia?"

"Idih, sok tau."

"Murid baru?" tanya Anin heran.

Tentu saja ia tidak mengetahui informasi apapun lagi mengenai sekolahnya. Lagi pula ia tidak lagi menjadi siswa di sana. Segala hak yang ada di sana tentu bukan urusannya, untuk apa ikut campur?

Anin mengikuti arah pandang dua temannya. Tampak seorang remaja tengah duduk santai sembari menikmati kopinya. Anin merasa familier, tetapi ia tidak pernah bertemu di mana. Ia hanya seperti tidak asing saja.

"Dia itu pindah ke sekolah satu hari se—" penjelasan Dini terpotong sebab dering ponsel Anin berbunyi nyaring.

"Bentar aku angkat telepon dulu."

Ia mengangkat telepon dari sanh umi. Beliau menyuruhnya untuk pulang karena hari mulai malam. Azan magrib pun sebentar lagi pasti akan berkumandang. Ia mengiyakan saja perintah sang umi.

Sebelum pulang, tentu ia berpamitan terkibih dahulu. Tidak sopan jika langsung pergi begitu saja. Anin merapikan barang-baranya seperti ponsel dan dompet. Ia memasukkan ke dalam tas terlebih dahulu, barulah ia pamit.

"Aku pulang dulu, ya? Udah dicariin sama Umi."

"Yaudah. Kita juga mau pulang. Lagian udah mau magrib."

Mereka berjalan beriringan sembari berbincang ringan. Anin menunduk sebab ada beberapa pasang mata yang memperhatikannya. Ia tidak tahu apa yang salah dengan dirinya. Rasanya sangat risih, diperhatikan seperti itu.

Bruk!

Lagi-lagi ia menabrak orang hingga dirinya jatuh terduduk. Ia berdiri dibantu Ana dana Dini lalu mengibarkan bajunya dan membersihkan dari debu yang menempel.

"Eh, anak baru. Kalau jalan hati-hati!" sentak Dini.

"Salahin temen lo yang jalan nunduk mulu. Tapi ... kayaknya gue penah liat cewek ini. Oiya, lo cewek yang ketemu gue di koridor itu 'kan? Kemana aja lo? Abis cari masalah sama gue langsung kabur. Pengecut!"

"Lo, tuh, ya ...."

"Oh, ya? Hm ... aku pengecut, ya? Kalau misal enggak tau apa-apa enggak usah nyerocos seakan-akan tau segalanya. Nih, ya, aku peringatin lagi, aku nunduk karena menjaga pandangan. Harusnya kamu paham sama kata-kata aku."

"Alasan lo klasik banget," ucap lelaki itu sembari tersenyum remeh.

"Itu masuk akal, kamunya aja yang enggak tau aturan agama makanya nyepelein hal itu. Terlihat hal kecil tapi jika dilanggar akan menjadi dosa."

"Tau apa lu tentang dosa, masih bocah aja belagu."

"Di sini temen gue apa lo yang belagu? Udah balig kelakukan kayak bocah. Katanya anak SMA, tapi dinasehatin malah nyepelein. Lo manusia apa hewan? Laki-laki kok omongannya besar, enggak guna pula," ucap Dini mulai jengkel dengan laki-laki di hadapannya.

Mereka bertiga pergi dari kafe. Waktu mereka terbuang sia-sia hanya untuk meladeni laki-laki itu. Tenaganya juga terbuang sia-sia gara-gara laki-laki tidak tahu aturan.

***

Di dalam kamar, Anin tengah bersantai. Kini ia tengah membaca buku novel berjudul Imam Pilihan Abi. Membaca itu, Anin kesal sendiri karena tokoh perempuan tidak mau dijodohkan. Padahal laki-lakinyang dijodohkan itu saleh. Orang tua tidak mungkin menjerumuskan anaknya pada hal tidak baik, maka dari itu orang tua juga memilihkan imam yang baik untuk anaknya.

Karena terlalu hening, Anin menyetel salawat dari ponselnya lalu disambungkan dengan pengeras suara. Ia pun kembali membaca buku dengan tenang, sesekali mulutnya ikut bershalawat.

Suara salawat berganti dengan nada dering telepon. Anin segera mengangkat telepon dari Ana. Aneh? Untuk apa jam sepuluh malam Ana menelepon dirinya? Tidak menunggu waktu lama, ia pun menggeser tombol hijau.

"Halo, assalamualaikum." ucap Ana sembari menangis.

"Waalaikumussalam, kamu kenapa, Na?" Anin khawatir mendengar isak tangis Ana.

"Anin ... ayahnya Dini meninggal."

"Innalillahi wainnalillahi roji'un. Sekarang kamu dimana? Udah di rumah Dini?"

"Belum, ini baru mau ke sana."

"Yaudah aku nyusul. Assalammualaikum."

Anin bersiap-siap untuk ke rumah Dini. Ayah Dini memang mempunyai penyakit jantung, saat ia ke pesantren, beliau tengah dirawat di rumah sakit, tetapi ia tidak tahu jika kondisinya melemah saat ia di pesantren. Jangankan kabar ayah Dini, kabar orang tuanya pun ia tidak tahu.

Dengan tergesa, ia menuruni tangga. Masih ada orang tuanya yang berbincang du deoan televisi. Atensi mereka beralih kepada anak gadisnya yang rapi dengan setelan gamis hitamnya.

"Abi! Anterin Anin ke rumah Dini. Ayahnya meninggal, jadi Anin mau ke sana. Dini butuh teman."

Dini memang anak tunggal. Jadi ia sangatlah dekat dengan orang tuanya. Sebagai anak tunggal, tentu ia kerap kesepian sebab tidak ada teman mengorol di rumah.

"Innalillahi. Tapi ini sudah malam, Nak."

"Sekali aja, Abi, Umi. Dia sahabat Anin, Anin mau nguatin dia. Anin janji enggak akan keluar malam lagi setelah ini."

Abi Herman menatap sang istri. Umi Tania mengangguk. Jadilah Anin ke rumah Dini. Sebenarnya rumahnya tidak terlalu jauh, tetapi tetap saja ia tidak diperbolehkan pergi sendiri.

 Sebenarnya rumahnya tidak terlalu jauh, tetapi tetap saja ia tidak diperbolehkan pergi sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lentera HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang