*السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ*
Sebelum baca diwajibkan jawab salam dulu, yaa!
Happy reading
Awas typo teman-teman!***
Tidak selamanya diri kita akan merasakan sehat dan bahagia. Dunia ini lengkap dengan berbagai keadaan. Jika hari ini sehat, suatu saat pasti akan merasakan sakit. Entah itu sakit hati di kalangan remaja, ataupun sakit fisik karena lelah dan berbagai faktor lainnya.
Seperti yang saat ini Anin rasakan. Kala ia terbangun di pagi hari, ia badannya terasa lemas, suaranya nyaris tidak dapat terdengar karena serak yang begitu parah. Alhasil, ia hanya dapat memberi kode jika berkomunikasi dengan temannya.
Kegiatan sekolah sudah dilaksanakan seperti biasa. Kini Anin sudah berada di kelasnya sembari menyanding sebotol air putih. Sebenarnya ia tidak boleh sekolah dulu oleh teman-temannya dan Umi Maisaroh, tetapi ia bersikukuh untuk tetap sekolah.
Anin beranjak dari duduknya berniat untuk ke toilet. Hal iti membuat Naila yang duduk di sebelahnya ikut berdiri. Ia memandang Naila bingung. Untuk apa ikut berdiri?
"Mau kemana?"
"Toilet, Nai," jawabnya dengan suara memprihatinkan.
"Ana anterin, ya?"
"Enggak usah. Ana bisa sendiri kok, tenang aja."
"Enggak-enggak, ana anterin. Lagian masuk masih lima belas lagi."
Anin pun menghela napas pasrah. Ia menuju toilet bersama Naila. Wajar jika Naila khawatir, kondisi Anin belum bisa dikatakan baik-baik saja. Jika ia pingsan bagaimana? Naila tidak mau hal buruk terjadi pada Anin.
Selesai berurusan dengan toilet, mereka pun kembali ke kelas. Di belokan, hampir saja Anin mengulang kesalahan yang sama dengan hampir menabrak Gus Rafa. Namun, kali ini Anin bersama Naila dan kebetulan Gus Rafa bersama Zidan. Tampak Zidan tengah membantu Gus Rafa membawa buku paket.
"Afwan, Gus," ucap Anin membuat Gus Rafa menatap iba.
"Ukhti Anin enggak apa-apa?" tanya Zidan di samping Gus Rafa. Ia menampilkan raut khawatir. Namun, ia tetap menjaga pandangan agar tidak terjadi zina. Gus Rafa pun merasa tidak suka saat Zidan mengkhawatirkan Anin. Namun, ia segera menepis rasa itu.
"Alhamdulillah enggak apa-apa. Hanya suara saja yang nyaris hilang."
"Kalau begitu kita permisi dulu, Gus, Akhi Zidan. Assalamuaikum."
"Waalaikumussalam."
Dengan cepat Anin menarik tangan Naila. Ia tidak ingin membuat masalah dengan Naila. Ia tahu, dalam lubuk hati Naila pasti merasa sakit karena Zidan mengkhawtirkannya. Meski menurutnya biasa saja karena memang kondisinya tengah tidak baik, Namun, ia tidak mau ada kesalahpahaman terjadi di lingkaran pertemanan mereka.
"Zidan perhatian banget sama kamu, Nin," lesu Naila.
Sudah ia duga, pasti akan terjadi seperti ini. Padahal Naila tahu sendiri jika ia tidak memilimi perasaan apa pun kepada Zidan. Hanya sebatas rekan panitia saat kegiatan kemarin saja, selebihnya tidak.
"Ekhem!" Anin sedikit mengontrol suara agar bisa sedikit jelas.
"Dengar, ya, Nai. Aku enggak ada perasaan apa pun sama Zidan. Lagi pula dia baik sama semua orang. Dia ngomong kayak gitu karena dja liat sendiri kondisi aku yang kayak gini. Kamu tenang aja, aku enggak akan ambil dia dari kamu," jelas Anin kepada Naila agar ia tidak memikirkan hal yang negatif tentangnya.
"Iya, aku percaya sama kamu. Udah kamu diam dulu. Kasian banget suara kamu."
Ia menganggukkan kepala lalu meminum air putih sebab tenggorokannya kembali terasa gatal. Beberapa menit kemudian, bel masuk pun berbunyi. Tak lama guru yang mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia pun memasuki kelas.
***
Di taman pesantren terdapat Gus Rafa yang bersantai di gazebo. Ia tengah mengecek data yang dikirim orang kepercayaannya mengenai kafe di luar kota. Pekerjaan memang kerap ia kerjakan di rumah, sedangkan mengecek secara langsung hanya sesekali saja.
Dengan laptop di pangkuannya serta kaca mata bertengger di hidungnya menambah kesan pembisnis muda di dirinya. Namun tetap saja, kadar ketampanan seorang lelaki itu akan lebih tinggi saat ia memakai baju koko, sarung dan peci.
Gus Rafa istirahat sejenak sembari bersandar di pinggiran gazebo. Ia menatap langit cerah yang tidak terlalu terik. Di pikirannya terbayang awal bertemu dengan gadi cantik di tempat percetakan. Wajah bersemu menahan malu sebab terlupa membawa uang membuat gadis itu terlihat menggemaskan.
"Astagfirullah, zina pikiran. Sadar Rafa," peringatnya pada diri sendiri.
"Assalamualaikum. Aduh, anak Abi kenapa kok ngelamun pagi-pagi. Mikirin apa, Gus?" tanya Kiai Abdullah ketika melihat anaknya yang tadinya merenung tiba-tiba mengucap istigfar.
"Mboten, Bi. Mikir kerjaan mawon."
"Enggak percaya, Abi. Tadi dengar kata-kata zina. Mikirin perempuan pasti. Ada yang kamu kagumi?"
"Abi sok tau."
"Jujur saja sama abi, Gus. Mikirin apa si?"
"Bukan apa-apa, Rafa cuma tiba-tiba mikirin Anin, Bi. Cuma ingat waktu pertama ketemu."
Kiai Abdullah mendengarkan ucapan sang anak. Dari ceritanya, tampaknya ia tengah tertarik pada perempuan. Pasalnya Gus Rafa belum pernah bercerita atau sekadar mengangumi perempuan.
"Kamu suka sama anak sahabat Abi itu?"
"Rafa enggak tau, tapi kalau sehari enggak buat dia kesel, rasanya ada yang kurang."
"Abi rasa kamu tertarik sama dia. Minta petunjuk Allah, Nak. Jangan biarkan zina menghancurkan ketaatan kamu kepada Sang Pencipta. Mintalah petunjuk Allah," saran Kiai Abdullah kepada sang anak. Beliau tidak mau Gus Rafa berbuat sesuatu yang dilarang agama ataupun hal yang menimbulkan dosa.
"Tapi Rafa belum yakin."
"Maka dari itu, mintalah petunjuk Allah. Jika kamu sudah mantap dengan pilihanmu, hanya ada dua opsi. Abi tidak mau kamu menapaki jalan yang menimbulkan dosa."
"Apa itu?"
"Halalkan atau tinggalkan." Kiai Abdullah memegang bahu Gus Rafa.
"Rafa paham, jazakallah khairan, Abi. Rafa akan memikirkan ini."
"Jangan galau karena perempuan, Nak."
"Na'am, Abi."
Gus Rafa memikirkan apa yang dikatakan oleh abinya. Hatinya masih bimbang, apakah ia benar-benar mengagumi, atau sekadar obsesi? Ia belum bisa memastikan. Dengan petunjuk Allah, ia akan memastikan itu.
Melihat Gus Rafa kembali termenung, Kiai Abdullah menepuk pundak anaknya sembari tersenyum. Beliau tahu anaknya tidak akan mau menapaki jalan yang menimbulkan dosa, tetapi beliau tetap antisipasi.
***
Lagi-lagi Anin harus berada di dapur. Kini ditemani segelas jahe panas yang diseduh dengan gula jawa. Sebelumnya jahenya juga sudah dibakar lalu ditumbuk terlebih dahulu agar rasanya lebih pedas.
Tenggorokannya sedikit terasa enak setelah meminum itu, batuknya pun sedikit mereda. Ditemani Maira yang sedari pulang sekolah sudah mampir ke asramanya. Maira menyodorkan minyak kayu putih kepadanya. Ia pun menerima lalu mengoleskan di leher dan dada.
"Udah baikan, Nin?"
"Lumayan, Ning. Cuma masih gatel aja, tapi udah lumayan enak," jawab Anin.
"Ekhem!" Anin berkali-kali menetralkan suaranya agar dapat terdengar sedikit jelas. Meski suaranya tidak sekeras biasanya, setidaknya siapa pun yang berkomunikasi dengannya bisa mendengar apa yang aka ucapkan.
"Kalau gitu kamu kembali ke asrama aja, istirahat yang cukup. Jangan banyak kegiatan dulu sampai kondisi kamu membaik."
"Iya, Ning."
Maira mengantar Anin ke dalam asrama. Di sana sudah ada Dita dan Salma yang tengah berbincang. Ning Maira pun tidak langsung pergi ke ndalem. Melainkan ikut berbincang dengan kedua teman Anin.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Hati
Teen FictionPemesanan novel "Lentera Hati" bisa melalui wa (083161601480) Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komentar buat yang baca xixi😊 Anindita Keysa Zahra, gadis cantik dan ramah berusia enam belas tahun. Ia selalu menjaga pandangan dan menjaga...