LH: 26

558 24 0
                                    

Assalamualaikum

"Kamu tau? Hal yang paling aku benci?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamu tau? Hal yang paling aku benci?"

"Apa?"

Anin mendongakkan kepalanya kala suara Naila memecah keheningan. Tangan dan kakinya kini terikat, gamisnya lusuh, jilbabnya sedikit berantakan. Di gudang tidak terpakai ini, mereka tidak hanya berdua. Melainkan ada dua preman yang juga menjaga di sisi Anin. Ia tidak menangis, hanya sedih melihat hal nekat teman sepesantrennya yang buta akan cinta.

Cinta yang berlebihan itu sangat tidak baik. Bahkan dapat mengubah sifat seseorang hanya dalam hangka waktu sekedipan mata saja hanya karena cemburu yang tak kuasa ditahan. Lantas membuat hal nekat hingga membahayakan nyawa seseorang. Itu bukan cinta, tetapi obsesi.

Manusia memang lucu, melibatkan orang yang tidak bersalah berjadi korban yang paling mengenaskan. Apakah baik untuk dicontoh? Bukannya terlihat hebat, tetapi malah rendah. Berusaha membuat dirinya tak terkalahkan hingga menghalalkan segala cara agar terlihat hebat.

"Pengkhianat seperti kamu," jawab Naila sembari tersenyum miring layaknya tokoh antagonis.

Anin tidak takut, bahkan di matanya, Naila terlihat mengenaskan dengan tampilan hijabnya. Ia cantik, tetapi hanya karena cinta menjadi buruk. Cinta seakan mengubah dunianya yang indah menjadi ... sangat buruk.

"Kamu tau apa yang lebih mengenaskan dari gudang yang tidak terpakai ini?" Naila menatap Anin dengan bingung.

"Kamu ... kamu yang dibutakan oleh cinta. Kamu terlihat mengenaskan dengan perilakumu saat ini. Asal kamu tau, dulu kamu itu sangatlah cantik dengan segala yang kamu punya. Akan tetapi, sekarang terlihat mengenaskan dengan mengandalkan cinta."

Ingin rasanya melihat Naila yang mengutamakan pertemanan dibandingkan cinta. Namun, tidak ada gunanya. Semua sudah terlanjur hancur. Ingin berusaha seperti apa pun jika Naila sendiri sudah tidak ingin berjuang, hasilnya akan sia-sia.

Raut wajah Naila tampak sedih, tetapi ia menyamarkan dengan berpura-pura tersenyum remeh. Sorot mata tidak bisa berbohong, Anin mengetahui itu kala mata cantik Naila terlihat berkaca-kaca.

"Anin, aku sayang kamu sebagai teman. Tapi sekarang aku benci dan mrnganggap kamu sebagai musuh yang perlu disingkirkan."

Anin terdiam, ia membiarkan Naila mengeluarkan apa yang mengganjal hatinya sehingga ia melakukan hak seperti ini. Bahkan sampai ingin menyingkirkannya. Ia menatap mata Naila dalam.

"Saat aku kenal kamu, aku memang kagum dengan sifatmu. Kamu baik, cantik, dan pintar. Tapi ... rasa kagum aku terhapuskan karena kamu selaku dinomorsatukan. Hanya dalam jangka waktu beberapa bulan saja, kamu udah dipercaya untuk berperan diacara besar! Padahak aku selalu menginginkan itu. Bahkan kemarin aku hanya menjadi cadangan saja!"

Naila mengatur napasnya lalu kembali berucap, "Kamu jadi pusat perhatian, kamu jadi ketua silat, kamu juga jadi wanita yang disukai banyak orang termasuk Zidan! Kamu itu egois! Semua kamu genggam. Enggak ada yang melirik aku sedikit pun. Kamu itu PEREBUT! Kam—"

"CUKUP!" sentak Anin membuat Naila terdiam.

Kini Anin tahu apa alasan Naila sebenci itu dengan dirinya. Iri menjadi alasan utama. Naika bilang, Anin itu egois. Jika dipikir, dari segi mana Anin egois? Ia disukai, dipercaya, dan dikagumi bukanlah kemauannya. Akan tetapi, itu semua memang hak orang yang tidak bisa ditahan.

Dari segi mana ia perebut? Bahkan semua yang terjadi itu bukan kehendaknya. Perihak Zidan? Ia tidak menyukainya. Apa karena Zidan mengungkapkan rasa, ia dicap sebagai perebut. Bukan salah Anin, tetapi Naila saja yang salah konsep.

"Bawa dia, dan hancurkan hidupnya!" titah Naila pada dua preman di sisi Anin.

***

Di sisi lain, Gus Rafa dan Arif tengah melawan sepupu dari Naila. Arif melawan dan membabi buta, sedangkan Gus Rafa masuk ke dalam gudang dengan kayunya. Masih banyak jebakan tikus di sana. Maka dari itu ia harus ekstra hati-hati.

Di salah satu ruangan, Gus Rafa mendengar percakapan seseorang yang ia yakini itu adalah Anin dan Naila. Suara Naila menggebu-gebu bak anjing yang menggonggong. Omong kosong yang Naila sebutkan membuat Gus Rafa muak. Namun, ia masih setia mendengarkan semua hal yang dibicarakan mereka.

"Bawa dia, dan hancurkan hidupnya!" titah Naila pada dua preman di sisi Anin.

"Kamu jangan gila, Nai!"

Gus Rafa berjaga-jaga. Ia tahu pasti sebentar lagi mereka akan keluar. Di gudang ini, hanya ada satu pintu masuk karena pintu belakang sudah tertumpuk bebatuan.

"Lepasin, Nai! Tolong!" Suara Anin lagi-lagi membuat Gus Rafa khawatir.

"Mau minta tolong siapa? Enggak bakal ada yang nolongin kamu," remehnya.

Dari belakang, Gus Rafa melihat dua orang perempuan. Ternyata itu adalah Ana dan Dini. Ana juga sudah membawa polisi sehingga mereka tidak akan kalah jumlah dan tenaga. Mereka menyusun strategi. Nanti, Ana, Dini dan Gus Rafa akan masuk ke dalam, sedangkan polisi menunggu di samping pintu masuk sementara waktu.

Dengan sekali dobrakan, Gus Rafa dapat membuka pintu yang terkunci dari dalam sebab kayunya sudah rapuh. Naila terkejut, tetapi ia mencoba terlihat biasa saja. Bahkan ia mengeluarkan wajah sombongnya.

"Serang mereka!"

"Hatu-hati, Gus!" peringat Anin.

Gus Rafa menyerang dua preman dan melemparnya keluar. Polisi yang berjaga pun menangkap tanpa bersuara agar Naila tidak tahu keberadaan polisi.

"Ana," lirih Anin.

Ikatan tangan dan kaki Anin mencoba dilepaskan oleh Ana. Akan tetapi, Naila mendorong Ana hingga ia terjatuh. Ana berdiri dengan sigap kemudian mendorong bahu Naila agar berdiri dan sedikit menjauh dari Anin.

"Lepasin Anin, ini biar aku aja."

"Din, jangan," cegah Anin sebelum Dini melakukan sesuatu.

"Udah kamu diam aja."

"Hmm ... katanya santri kok kelakuannya kayak gini. Gus! Anak pesantren antum, nih! Boleh saya kasih pelajaran?" tanya Dini kepada Gus Rafa yang sudah selesai dengan preman suruhan Naila.

"Dikit aja, dia lemah soalnya," jawab Gus Rafa sembari terkekeh.

"Gus!" peringat Anin membuatnya menggaruk tengkuk yang tidak gatal.

"Bismillahirrahmanirrohim," ucap Dini membuat seluruh pandangan mengarah padanya.

PLAK!

"Ini buat kamu yang udah bikin Anin hampir celaka."

PLAK!

"Ini buat kamu yang udah culik Anin."

PLAK!

"Buat kamu yang ngusik kehidupan Anin."

Tiga tamparan ditujukan untuk Naila. Cukup keras memang, anggap saja sebagai pelajaran untuk Naila agar tidak lagi mrlakukan hal yang semena-mena kepada orang lain.

Brugh!

"ANIN!"

"ANIN!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lentera HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang