LH: 09

620 30 0
                                    

Assalamualaikum
Halo semua!
Happy reading
Awas ada typo!

***

Malam telah tiba menggantikan siang yang tadinya terik. Bulan dan bintang kini mrnggantikan posisi matahari di cakrawala. Hari yang tadinya terang pun berganti gelap. Suasana pesantren Al Ikhlas kini ramai. Pemasangan panggung serta dekorasi lainnya membuat semua santri sibuk.

Beda hal dengan Anin yang baru saja selesai salat isya di kamar. Ia tidak ikut berjamaah karena tugasnya mendata dan bolak-balik membuat laporan hingga konfirmasi kepada ketua panitia membuat ia sibuk. Untung saja ia masih sempat melaksanakan kewajibannya sebagai umat muslim. Tadi saat semua salat, Anin tengah di dapur ditemani Maira untuk mengurus konsumsi bagi yang bekerja.

Kebetulan Maira sedang tidak salat sehingga ia tidak khawatir. Untung saja Anin sudah diberikan izin untuk tidak salat berjaamah. Jika ia tidak diizinkan biasa-bisa ia akan mendapat hukuman. Kini ia tengah melipat mukena dan kembali membantu teman-temannya.

Dengan setelan gamis cokelat tua dan jilbab pasmina hitam ia menuju ke lapangan untuk membantu apa yang bisa ia lakukan. Ramai, ya, mayoritas santri laki-laki. Untuk menghindari zina, ia berbalik arah. Lagi pula pekerjaan di lapangan pasti berat. Ia pun berubah pikiran dan memilih untuk ke dapur saja.

"Kenapa pergi?"

Anin mendongak kala mendengar suara familier dari belakangnya. Ia pun berbalik dan menundukkan kepalanya serta memundurkan langkahnya untuk menjaga jarak dengan bukan mahromnya.

"Ramai santri laki-laki, Gus. Jadi ana mau bantu orang-orang yang ada di dapur aja. Lagi pula sepertinya di sini sudah banyak yang bantu."

"Enggak boleh!"

"Loh, kenapa. Kok enggak boleh?" tanya Anin heran. Pasalnya ia tidak mungkin membantu di lapangan. Pekerjaan di sana pasti berat. Ia juga tidak akan betah jika satu tempat dengan banyak lawan jenis yang bukan mahromnya.

"Sa-saya mau kamu buat laporan lagi."

"Laporan apa lagi, Gus? Yang tadi juga baru ana setor ke antum," kesal Anin.

Untung saja Anin memiliki tingkat kesabaran yang tinggi dalam menghadapi Gus Rafa. Selama lebih kurang dua bulan ia bersekolah di pesantren, jika bertemu Gus Rafa pasti lebih dominan dengan keributan.

Ingat, Anin itu tidak lemah, tetapi ia hanya menahan diri agar tidak melakukan hal di luar batas. Ia juga mempelajari ilmu bela diri sejak kecil. Namun, ia diajarkan untuk tidak menyalah gunakam kemampuannya. Ia hanga menggunakan saat di waktu mendesak seperti saat ia membantu Gus Rafa menyelamatkan ibu-ibu dari preman.

Untuk kali ini, jika ia tidak memiliki kesabaran yang tinggi. Gus Rafa sudah ia ajak untuk adu jotos sebab sering kali membuatnya sebal.

"Eh ... ma-maksud saya kamu saya suruh untuk memperlengkap proposalnya. Kemarin kan belum lengkap."

"Kenapa gagap sih? Kayak ngomong sapa siapa aja."

"Cepat laksanakan tugas kamu."

"Bukannya saya enggak mau, Gus. Laptop ana baru aja di-charger. Terus juga ana niatnya mau istirahat dari laptop, dari kemarin ana enggak lepas dari laptop. Nanti kena radiasi mata ana, Gus."

"Pake kaca mata."

"Ya Allah, Gus. Besok aja, Gus. Ana janji. Mata ana pedes. Kalo gitu ana ke dapur dulu, asslamualaikum"

"Waalaikumussalam."

Anin melenggang pergi meninggalkan Gus Rafa. Seperti biasa, kerap kali ia yang mengakhiri perdebatan dan memilih pergi agar tidak menajdi besar. Lagi pula jika berdebat lama-lama malah ia sendiri yang sebal.

***

Tadinya Gus Rafa baru saja mengkoordinasikan kepada semua orang yang bekerja agar selalu tertib. Saat ingin pergi, atensinya tertuju pada gadis cantik berjilbab cokelat berdiri di pembatas antara laoangan utama dan kelas. Ia pun ingin menghampiri tanpan diketahui.

Saat berjarak sekitar lima meter, ia pun memanggilnya hingga terjadi sedikit perbetan. Ia tidak tau mengapa harus berucap gagap. Rasanya ia menyuruh gadis itu istirahat saja, tetapi egonya menolak dan ingin terus memberikan pekerjaan, tetapi pekerjaan yang tidak terlalu membuat lelah.

Saat gadis itu memilih ke dapur, ia pun mengikuti dengan jarak yang lumayan jauh. Sebenarnya ia juga ingin ke dapur dengan tujuan untuk memberitahu bahwa waktu istirahat untuk orang-orang yang mengerjakan dekorasi di lapangan utama segera dilaksanakan. Ia ingin meminta bantuan santriwati untuk membawa makanan ke kelas yang dekat lapangan yang dijadikan untuk tempat istirahat.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam, Gus."

"Saya minta tolong untuk bawa makanannya sekarang, ya? Dibagi menjadi dua, ditaruh di dua kelas samping lapangan utama."

"Iya, Gus."

"Kalau begitu saya permisi, assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Gus Rafa kembali menuju lapangan. Di dapur hanya terdapat akhwat saja, tidak mungkin ia berlama-lama di sana. Pastinya risih jika berada di ruangan dengan banyak orang kalangan akhwat. Tentunya mereka bukan mahrom. Lagi pula ia tidak ingin timbul fitnah.

Sekarang Gus Rafa dan beberapa santri berada di kelas yang akan dibuat untuk istirahat. Mereka menata ruangan agar di bagian depan bisa untuk lesehan. Jika masih sama seperti kelas pada umumnya, tentu saja tidak enak. Tidak akan bisa berkumpul karena terhalang meja.

Gus Rafa duduk di kursi guru sementara waktu sembari mengawasi santriwati yang menata makanan. Ia beranjak karena mereka sudah selesai menata. Santriwati pun sudah kembali ke dapur. Ia menyuruh salah satu santri untuk mengajak yang lain beristirahat.

Ia berniat ke kelas sebelah untuk mengecek aoakah makanan sudah rapi atau belum. Saat ingin masuk, tidak sengaja ia menabrak gadis berjilbab cokelat hingga gadis itu terjatuh.

Bugh!

"Kalau mau masuk, salam dulu, Gus," lagi-lagi ia membuat gadis berjilbab cokelat sebal.

"Saya kira tidak ada orang. Lagian saya minta ksmu menyelesaikan proposal, bukan.menyiapkan makanan. Mau simulasi jadi ibu rumah tangga?" jawanya santai.

"Enggak gitu juga, Gus. Saya 'kan bantuin di dapur juga. Lagian capek di depan laptop."

"Bukannya di depan laptop cuma duduk sama jarinya yang kerja?"

"Capek pikiran, Gus. Antum pikir bikin proposal sama laporan enggak pake mikir?"

"Enggak. Proposal itu berdasarkan keperluan. Laporan juga berdasarkan yang sudah terjadi. Tugas kamu ya cuma ngetik."

"Duduk juga capek, Gus."

"Kamu bisa sambil tengkurap."

"Ta—"

"Saya kasih waktu dua hari. Karena kegiatan lima hari lagi."

"Ta—"

"Enggak usah protes."

"Iya. A—"

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam, enggak soapn loh, Gus, motong ucapan orang terus!" teriak Anin kelewat sebal karena ucapannya selalu dipotong oleh Gus Rafa dan berakhir ia ditinggal sendiri di kelas. Setelah itu Anin pun pergi karena ruangannya akan digunakan beristirahat dan makan.

Gus Rafa tertawa kecil karena sukses membuat Anin sebal hingga mendengkus sebal. Setelah melihat Anin pergi, ia pun kembali masuk ke kelas untuk makan bersama santri lainnya.

***

Lentera HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang