LH: 19

524 21 0
                                    

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

***

Langit masih tampak gelap. Di sepertiga malam terakhir, ia terbangun dari tidurnya. Mengambik air wudu lalu melaksanakan salat tahajud dua rakaat dan ditutup salat witir tiga rakaat. Kala hati tidak tenang, salat tahajud adalah salah satu solusi untuk menengkan hati.

Allah berfirman pada Q.S. Al-Isra ayat 79, "Dan pada sebagian malam hari, bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Semoga Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji."

Ia membentangkan sajadah menghadap kiblat. Mulai salat dengan kusuk. Usai salat, ia mengadahkan tangan ke atas. Meminta petunjuk agar ia dapat mencari solusi yang tepat mengenai setiap masalah yang dihadapi.

Sembari menunggu salat subuh, ia membaca Al Quran sembari mengadah hapalannya agar tidak hilang. Kitab suci berwarna hijau tua di genggamannya selalu membuat hatinya tenang kala membaca.

Setelah cukup lama membaca dan waktu salat subuh pun sebentar lagi dimulai, Anin merapikan alat salatnya. Ia ingin berwudu kembali. Sebelum ia beranjak, ia memejamkan matanya sejenak. Entah mengapa rada lelah menyergap dirinya. Sekali kedipan, air matanya menetes tanpa permisi.

"Kamu kuat, jangan nangis."

Tiba-tiba Dita memeluk tubuhnya erat. Mengusap punggungnya membuat pertahannya justru semakin melemah. Ia terisak, entah mengapa selesau membaca Al Quran, ia kembali tidak tenang. Padahal saat membaca hatinya sangat tenang.

"Aku enggak papa kok. Ayok salat. Udah azan, tuh," ajak Anin sembari mengusap air matanya kasar.

"Kamu jangan sungkan cerita apapun sama kita. Kita ini sahabat, bahkan saudara. Kita tau kamu enggak sekuat itu, Nin. Enggak ada larangan buat kamu cerita," tutur Salma sembari menggenggam erat tangan Anin.

"Makasih banyak karena kalian mau dengerin keluh kesah aku."

"Yaudah, ayok salat."

Mereka menuju musala beriringan. Sebelum melaksanakan salat, mereka mengambil air wudu. Hampir saja Anin terjatuh di tempat wudu jika Salma tidak menahan tubuhnya. Dita membantu Anin untuk ke posisi semula agar keseimbangan tubuhnya kembali.

"Kalau jalan liat-liat, Nai. Kalau Anin sampai jatuh 'kan bahaya," peringat Salma saat ia sudah keluar dari tempat wudu.

"Mau-maunya kamu nolongin pembohong, bahkan orang yang suka ngomong omong kosong kayak dia. Kalau aku dih males," cerca Naila membuat Anin yang tengah membenarkan jilbabnya menghentikan aktivitasnya. Matanya sedikit memanas, tetapi ia masih bisa menahannya. Untung saja wajahnya masih basah oleh air wudu, jika menangis pun tidak akan terlalu kentara.

"Kamu enggak berhak menghakimi Anin. Bahkan dia enggak pernah berharap pertemanan antara kalian itu retak hanya karena seoarang lelaki," bisik Dita di telinga Naila. Ia tidak ingin banyak orang mengetahui permasalahan antara Anin dan Naila.

Salma menarik Anin sebab ikamah telah dikumandangkan. Untuk itu, mereka segera salat. Tidak baik mengulur waktu untuk melaksanakan kewajiban yang Allah perintahkan.

***

Hari ini adalah hari di mana seluruh santri dan santriwati pesantren Al Ikhlas akan mengetahui hasil belajar mereka. Pengambilan rapor dimulai pukul delapan pagi hingga sebelum duhur.

Sembari menunggu kedatangan orang tua, Anin bersama teman satu kamarnya berjalan-jalan di lingkungan warga sekitar pesantren. Warga yang ramah membuat mereka betah untuk berlama-lama di luar pesantren.

Mereka juga mendatangi sawah warga. Banyak tanaman padi yang masih hijau dan belum berbuah. Udara sangat segar, tidak ada polusi yang mengganggu pernapasan. Ingin mengabadikan momen, tetapi ia tidak membawa ponsel. Lagi pula ponselnya berada di rumahnya.

"Aku pengen foto di sini, tapi enggak bawa ponsel." Anin memgerucutkan bibirnya membuat siapapun yang melihat akan gemas.

"Aturan pesantren 'kan emang enggak dibolehin bawa ponsel. Mau enggak mau kita harus naatin."

"Eh, liat, tuh! Ning Maira baru pulang dari warung, kayaknya bawa ponsel tuh, pinjam aja gimana?" tunjuk Dita kala melihat Maira membawa kantong keresek dan satu ponsel di telapak tangannya.

Dita menghampiri Maira laku berbincang sejenak. Dita kembali dengan ponsel digenggamannya. Anin dan Salma tersenyum senang melihat itu. Dengan segera, ia mengatur posisi agar Dita memotretnya.

"Kata Ning Maira, ponselnya boleh dibuat foto asak enggak buka macem-macem."

Anin mengangguk paham. "Yaudah, kalian mau foto nggak? Aku udah cukup soalnya."

"Aku juga udah. Foto selfi bareng sekali lagi, yuk," ajak Salma.

Tidak banyak foto. Hanya tiga foto bersama dan dua foto Anin sendiri. Mereka segera kembali ke pesantren karena hari pun semskin siang. Sudah cukup banyak orang tua yang mengunjungi pesantren, suasana haru tercipta sebab banyak anak yang akhirnya bertemu orang tua setelah sekian lama menimba ilmu dan jauh dari orang tua.

Salma dan Dita pun sudah bertemu orang tuanya, tinggalah ia sendiri. Ia ingin mrngembalikan ponselnya kepada Maira. Langkah kakinya pun menuntunnya menuju ndalem. Setelah mengucapkan salam dan diberi intruksi untuk masuk, barulah ia masuk.

"Ning, ana mau ngembaliin ponselnya. Jangan luap kirim ke nomor saya, ya, fotonya?" ucap Anin dengab tangan menyodorkan ponsel ke arah Maira.

"Nomornya tulis di ponselnya aja, biar nanti ana langsung ngirim."

Anin menuliskan nomornya di ponsel itu. Setelah itu ia kembali menyodorkan ponselnya. Maira tersenyum senang lalu mengirim foto itu kepada Anin. Setelah itu, ia pun ke kelas sebab guru sudah memberi intruksi.

Lentera HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang